PENDIDIKAN
INKLUSIF SEBAGAI WAHANA STRUKTURAL BAGI ANAK-ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS MENUJU
PENCAPAIAN
CITA-CITANYA DI MASA DEPAN
Oleh : Drs. DEDIK EKADIANA
Guru PPKn, SMPN 88 Slipi, Palmerah
Jakarta Barat
Jakarta Barat
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia sejak
era reformasi hingga saat ini telah diupayakan berjalan sesuai amanat
konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku (pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945 Yang Diamandemen juncto pasal 5 ayat 1-5 Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Kenyataannya, di samping sejumlah anak didik yang memiliki kesehatan fisik dan mental sempurna
(normal), terdapat tidak sedikit anak-anak yang terlahir menyandang difabilitas
fisik dan mental, juga tak kalah jumlah anak-anak yang menyandang bawaan lahir
sebagai anak yang berkelebihan dalam level kecerdasan, sehingga mereka masuk
dalam kategori anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Fakta ini menjadi PR besar autoritas
pendidikan di Indonesia beserta para pelaksana proses pendidikan yang
berkewenangan penuh mendorong dan memfasilitasi para peserta didik, tanpa
kecuali, memperoleh hak berpendidikan. Dengan kata lain, diperlukan wahana
sistem pelaksanaan pendidikan terpadu yang dapat melayani kebutuhan semua
peserta didik tanpa kecuali.
Wahana sistem pelaksanaan pendidikan
terpadu tersebut lebih dikenal sebagai ”pendidikan inklusif”. Pendidikan
inklusif pada dasarnya merupakan suatu strategi pendidikan untuk mempromosikan
pendidikan universal yang efektif untuk dapat menciptakan sekolah yang responsive terhadap keberagaman
karakteristik dan kebutuhan anak.
Keberadaan pendidikan inklusif telah
disepakati oleh banyak Negara yang ter-gabung di Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), ditandai dengan dokumen internasional, di antaranya: Universal Declaration on Human Right 10
Desember 1948, UN Convention on Children
Right 1989, World Declaration on
Education for All 1990, Peraturan Standard tentang Persamaan Kesempatan
bagi Para Penyandang Cacat tahun 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi
tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994, Kerangka Aksi Forum Pendidikan
Dunia tahun 2000.
Image : Google
Penerapan pendidikan inklusif secara
konseptual memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti
pendidikan di sekolah mana pun sesuai dengan keinginannya. Ironisnya, belum
banyak jumlah sekolah di Indonesia yang siap menyerap peserta didik berstatus
ABK, dikarenakan alasan belum siap secara teknis mau pun nonteknis.
Problem klasik yang sering terjadi di
sekolah-sekolah yang menolak peserta didik berstatus ABK di antaranya adalah
bahwa mereka tidak memiliki peralatan khusus, ketiadaan tenaga pengajar dan
pendidik yang capable untuk menangani
anak didik berstatus ABK. Di samping itu, kehadiran siswa-siswi berstatus ABK
di sekolah-sekolah berstandard umum masih dianggap membawa masalah (unfortunate taker).
Upaya pemerintah, dalam kaitan ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, terhitung sangat
serius untuk menerapkan pendidikan inklusif di tanah air, ditandai dengan
kemunculan Deklarasi Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi Secara Formal di Bandung
pada tanggal 11 Agustus 2004, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70
tahun 2009.
Pada pasal 1 Permendiknas No. 70 tahun 2009
disebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan para peserta didik pada umumnya.
Bahkan pemerintah telah melakukan langkah
kongkret merintis sekolah inklusi pada beberapa kabupaten di luar DKI Jakarta,
seperti 12 SD di Kabupaten Gunung Kidul (DIY), dan 35 SD di Kota Jogyakarta, 8
SD di Kabupaten Tanah Grogot. Disebabkan oleh status rintisan, hingga artikel
ini dibuat belum diperoleh informasi yang signifikan terkait perkembangan
sekolah-sekolah perintis tersebut.
Image : Google
Pendidikan inklusif sangat penting
dikembangkan terus-menerus, mengingat banyak kelebihan dan manfaat yang
terkandung di dalamnya. Terdapat lima kelebihan atau manfaat dari program
pendidikan inklusif (Staub dan Peck: 1994-1995), antara lain :
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan
anak non-ABK, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering
berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus itu sendiri.
2. Anak non-ABK menjadi semakin toleran
pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3. Banyak anak non-ABK yang mengakui
peningkatan selvesteam sebagai akibat
pergaulannya dengan ABK , yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan
di sekolah.
4. Anak non-ABK mengalami perkembangan
dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika.
5. Anak non-ABK yang tidak menolak ABK
mengatakan bahwa mereka merasa berbahagia bersahabat dengan ABK.
Berdasarkan obyeknya (mayoritas ABK yang
terdapat di Indonesia), pendidikan inklusi terbagi menjadi tiga kategori :
1.
Inklusi tunanetra : pendidikan inklusi bagi anak yang
mengalami gangguan penglihatan atau rusak penglihatannya (buta total),
implementasi-nya adalah bahwa peserta didik diberi alat bantu berupa software JOS yang di-install pada komputer atau laptop,
sehingga semua tulisa diubah menjadi bunyi oleh software tersebut.
2.
Inklusi tunarungu
: pendidikan inklusi bgi anak
yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga mengalami
gangguan berko-munikasi secara verbal. Alat bantu yang digunakan adalah bahasa
mimik atau atau bahasa isyarat.
3.
Inklusi tunadaksa
: pendidikan inklusi bagi anak
yang mengalami cacat fisik berupa tidak memiliki anggota tubuh (tangan atau
kaki), atau pun jika punya, tidak dapat berfungsi sebagamana mestinya.
Manfaat
pendidikan inklusi
Implementasi pendidikan inklusif diharapkan mampu mendorong terjadinya
perubahan sikap lebih positif dari peserta didik terhadap adanya perbedaan
melalui pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama, dan pada akhirnya mampu
membentuk sebuah komunitas yang tidak diskriminatif dan menjadi akomodatif
terhadap semua orang.
Butir-butir manfaat yang sangat mungkin diperoleh dari pelaksanaan
pendidikan inklusif adalah :
1. bagi anak didik,
·
para
siswa sejak dini memiliki pemahaman yang baik terhadap perbedaan dan
keberagaman
·
munculnya
empati alamiah pada para siswa
·
munculnya
budaya saling menghargai dan menghormati antarsiswa
·
menurunkan
kemungkinan terjadinya stigma dan labeling
kepada semua anak, khususnya pada anak berkebutuhan khusus dan penyandang cacat
·
timbulnya
budaya kooperatif dan kolaboratif pada siswa, sehingga memungkinkan adanya
saling bantu antara satu dengan yang lainnya
2. bagi guru,
·
lebih
tertantang untuk mengembangkan berbagai metode pembelajaran
·
bertambahnya
kemampuan dan pengetahuan guru tentang keberagaman siswa, termasuk keunikan,
karakteristik, dan sekaligus kebutuhannya
·
terjadinya
komunikasi dan kerja sama dalam kemitraan antarguru dan guru ahli bidang
lainnya
·
menumbuhkembangkan
sikap empati guru terhadap siswa termasuk siswa penyandang cacat / siswa
berkebutuhan khusus
3. bagi sekolah,
·
memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi program wajib belajar
·
memberikan
peluang bagi terjadinya pemerataan pendidikan bagi semua kelompok masyarakat
·
menggunakan
biaya yang relative lebih efisien
·
mengakomodasi
kebutuhan masarakat
Pendidikan inklusif sebagai model
penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus memiliki
pendahulu sebagai model yang sama, namun pemberlakuan model pendahulu tersebut tidak
menunjukkan grafik kemajuan yang signifikan. Sekedar untuk referensi tambahan,
model pendahulu tersebut dapat diringkas sebagai berikut :
1.
Sekolah
segregasi : adalah jenis sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari
sistem persekolahan regular. Sekolah segregasi di Indonesia berupa unit
pendidikan khusus dalam bentuk sekolah luar biasa (SLB). Berdasarkan perbedaan
anak berkebutuhan khusus, SLB terbagi dalam beberapa kategori, di antaranya
SLB/A untuk penyandang tunanetra, SLB/B untuk penyandang tunarungu, SLB/C untuk
penyandang untuk penyandang tunagrahita, SLB/D untuk penyandang tunadaksa, dan
SLB/E untuk penhyandang tunalaras. Kelemahan dari sekolah segregasi adalah pada
aspek perkembangan emosi dan sosial anak didik menjadi kurang luas karena lingkungan
pergaulan yang terbatas.
2.
Sekolah
terpadu : adalah jenis sekolah yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan
di sekolah regular tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan
kebutuhan individu anak didik tersebut. Kelemahan dari model sekolah seperti
ini adalah bahwa anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan individu anak, namun kelebihannya adalah bahwa anak
berkebutuhan khusus berkesempatan luas bergaul di lingkungan yang normal.
3.
Sekolah
inklusif : adalah bentuk inovasi dari
pendidikan terpadu. Di sekolah ini, setiap anak berkebutuhan khusus diusahakan
memperoleh pelayanan pendidikan secara optimal, didasari atas penyesuaian
kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem
pembelajaran, hingga sistem penilaiannya. Keuntungan dari pendidikan inklusif
adalah bahwa anak berkebutuhan khusus mau pun non-ABK dapat saling berinteraksi
secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Di era millennium III ini,
upaya akselerasi pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia merupakan
keniscayaan yang tak bisa ditolak. Betapa tidak? Tanah air Indonesia yang kaya
dengan sumber daya alam memerlukan pengelolaan yang tepat dari sumber daya
manusia yang tersedia pada bangsa Indonesia sendiri.
Sementara itu, kenyataannya sumber daya manusia Indonesia memang
melimpah ; 262 juta jiwa (data terbaru
dari Badan Pusat Statistik tahun 2017). Keberlimpahan sumber daya manusia
Indonesia belum sejajar dengan pertumbuhan kualitas sumber daya manusia
Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan yang ideal.
Ditambah lagi, keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus juga merupakan
potensi sumber daya manusia Indonesia yang suatu saat kelak diharapkan dapat
mengelola dengan tepat sumber daya alam di Negara tercinta. Pendidikan yang
ideal juga diperlukan bagi para ABK tersebut dalam rangka membentuk manusia
Indonesia yang terdidik dan berkecakapan baik.
Sumber
Kepustakaan
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia : Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Yang Diamandemen, Jakarta : 2002
2.
Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia : Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta : 2003
3. Kementerian
Pendidikan Nasional : Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009, Jakarta : 2009
4.
Universitas
Negeri Semarang : Pendidikan Untuk Semua,
Semarang : 2017
5.
Universitas
Bina Nusantara, ROMBOT Olifia, S. Sos, M.Pd : PENDIDIKAN INKLUSI, Jakarta : 2017
6.
Sumber-sumber
lainnya dari Televisi dan beberapa Koran Nasional