KIPRAH
PGRI JAKARTA BARAT PERINGATI HUT KE-72 PGRI
SEMINAR
SEHARI UNTUK GURU-GURU SEJAKARTA BARAT DAN SELATAN
Bumi Cipondoh Asri, Tangerang
Dalam rangka memperingati HUT PGRI ke-72,
PGRI Jakarta Barat berinisiatif menyelenggarakan seminar sehari untuk para guru
SD, SLTP, SLTA se-Jakarta Barat dan Selatan. Acara diselenggara-kan di Gedung
Prasahda Jinarakhita, Jl. Kembangan Raya Blok JJ RT 006/06 Kel. Kembangan,
Jakarta Barat, Sabtu, 16 Desember 2017.
Peserta seminar yang hadir sebanyak 458
orang, berasal dari puluhan sekolah tingkat SD, SLTP dan SLTA se-Jakarta Barat
dan Selatan. Ketua PGRI Jakarta Barat Drs. H. Samlawi dalam sambutannya
mengharapkan, seminar sehari tersebut dapat memberikan penyegaran dan perluasan
wawasan para guru dalam menghadapi para siswa-siswi era millennium III yang
telah sangat melek teknologi.
Lebih jauh H. Samlawi mengatakan,
gap wawasan teknologi antara guru dengan siswa dewasa ini dirasakan sangat
melebar. Celakanya, imbuh Ketua PGRI Jakarta Barat tersebut, tidak semua guru
mampu menyerap percepatan wawasan teknologi komunikasi secepat muridnya. Untuk
itulah, ujarnya, para guru lebih ditekankan untuk mengembangkan sikap positive thinking dalam menghadapi para
siswa yang menjadi tanggung jawabnya.
“Saya berharap, saudara-saudara selaku
pengajar dan pendidik lebih mengembangkan setidaknya dua hal yang bersifat positive thinking buat para siswanya,
antara lain senantiasa mendoakan anak didik yang kurang berprestasi menjadi
berprestasi, juga berupaya mengantisipasi bully
yang mungkin berkembang di kalangan para siswa”, tutur Drs. H. Samlawi.
Acara seminar tersebut dibuka secara resmi
oleh Ketua PGRI DKI Jakarta Prof. Dr. H. Agus Suradika, M.Pd. H.
Agus Suradika mengingatkan, seminar yang bertemakan ”MENDIDIK DAN MELAYANI GENERASI
MILENIAL DENGAN HATI” dimaksudkan agar para peserta seminar dalam
rangka berkomunikasi sehari-hari dengan para siswa yang terlahir setelah tahun
2000 lebih mengedepankan hati nurani ketimbang rasio yang kaku.
“Mengedepankan hati nurani bagi para guru
terhadap siswanya merupakan cara pendekatan pe rsuasif yang efektif guna
mempersempit gap wawasan teknologi komunikasi antara siswa yang termasuk
generasi milenial dengan para guru yang terlahir dari era booming baby”, ujar H. Agus Suradika.
Lebih jauh Kepala BKD DKI Jakarta itu
mengatakan, di era generasi milenial dewasa ini para siswa kebanyakan asyik
bermain dengan internet, namun kebanyakan guru baru memikirkan internet.
Kendati demikian, imbuhnya, peran guru tak bisa tergantikan oleh sistem
komunikasi bermuatan teknologi dalam bentuk apa pun.
“Ilmu dan teknologi itu ibarat pisau
bermata dua, sementara guru adalah pengarah siswa dalam penggunaan pisaunya.
Jadi, peran guru tak bisa tergantikan oleh pihak mana pun dalam mengarahkan para
siswanya. Maka, di sisi itulah peran guru benar-benar menonjol dalam nation development and character building”,
tegas H. Agus Suradika.
Di akhir sambutannya Ketua PGRI DKI Jakarta
itu mengingatkan, di era generasi milenial ini para guru hendaknya terus-menerus
dapat mengarahkan siswa terhindar dari sikap pem-bully, atau jadi korban bully.
Di samping itu, imbuhnya, para guru juga seyogianya dapat menempatkan dirinya
sebagai “teman” curhat dari para siswanya.
“Kalau sudah demikian, pada gilirannya guru
tidak layak lagi digelari pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi lebih layak disebut
pahlawan pemberi jasa”, pungkas H. Agus Suradika.
Di sesi ke-2 seminar, Ibu Cyltamia Irawan, CEO LENTERA
CONSULTING, mengetengahkan makalah bertajuk “Hello Millenial”.
Di awal makalahnya Cyltamia
Irawan menyebutkan pengertian generasi dan generation
gap. Menurutnya, generasi adalah kelompok orang berdasarkan tahun kelahiran
yang dikelompokkan berdasarkan pengalaman sejarah sosiologis yang dialami
bersama.
“Generation
gap adalah perbedaan opini tentang
musik, nilai-nilai, politik, dan lain-lain, yang terjadi antara satu generasi
dengan yang lainnya, biasanya antara kelompok muda dengan orang tua dan atau
kakek-nenek mereka”, ujar Cyltamia di awal makalahnya.
Lebih jauh pemakalah penyandang gelar
magister itu mengungkapkan, perbedaan generasi dapat mempengaruhi proses
belajar mengajar. Pengaruh yang dimaksud, imbuhnya, adalah komunikasi, proses belajar, sumber informasi, etika dan tata cara,
serta ketahanan.
Untuk memperjelas karakter
generasi terkait makalah yang disampaikan, Cyltamia Irawan membagi generasi
tersebut menjadi tiga kelompok generasi, yakni generasi baby boomers yang terlahir antara tahun 1944-1964, generasi X yang
terlahir antara tahun 1965-1980, dan generasi Y yang terlahir antara tahun
1980-2000.
Generasi baby boomers, papar pemakalah, pada umumnya memiliki nilai sikap
hidup optimistis, suka pada eksplorasi,
pilihan hidup individual, kemakmuran, aktualisasi diri, kesehatan dan kebaikan.
“Generasi baby boomers memiliki gaya bekerja keras, tujuan terorientasi,
keyakinan dalam mengerjakan tugas, membangun tim dengan empati, selalu mencari
kolaborasi, menghindari konflik, bekerja dengan caranya sendiri hingga ke
puncak tujuan”, papar Cyltamia.
Ia melanjutkan, generasi baby boomers pada umumnya senang
membangun komunikasi atas dasar respek terhadap orang lain, melayani, memanggil
diri sendiri, tujuan sukses yang dinyatakan secara jernih.
“Generasi baby boomers dalam hal financial
pada umumnya suka pada pengelolaan tabungan yang menguntungkan, perencanaan
pensiun yang jelas, kepedulian jangka panjang, dan pendidikan anak-anak”, tutur
pemakalah.
Sementara itu, pemakalah juga mengungkapkan
ciri-ciri umum generasi X. Menurutnya, generasi X memiliki nilai-nilai
kontribusi, umpan balik dan rekognisi, autonomi, waktu yang disertai
pengelolaan, kemampuan beradaptasi, dan independensi.
“Gaya bekerja generasi X pada umumnya
cenderung pada hasil dan kualitas tinggi, produktivitas, hidup seimbang,
jam-jam kerja yang fleksibel, kenyamanan dengan autoritas namun tidak terkesan
dengan gelar, kompetensi teknis, etika, mencari hal yang pintas menuju puncak”,
tegas Cyltamia.
Dalam urusan komunikasi, imbuh pemakalah,
generasi X cenderung pada pemberian kesempatan orang lain untuk menghubunginya
(email me), berbicara dan
mendengarkan secara efektif, menggunakan alat bantu film, musik, dan
gambar-gambar.
“Dalam pengelolaan financial,
generasi X cenderung mengatur pendapatannya untuk keluarga maksimal untuk
tanggungan 3 orang anak, senang menabung, biaya sekolah, kegiatan travel pada
hari libur, menjadi penghibur secepat mungkin yang dia bisa”, tutur pemakalah.
Generasi Y, jelas pemakalah, memiliki
nilai-nilai berupa ekspresi diri tanpa kontrol diri, cenderung pada merek dan
pemasaran menurut selera sendiri, menganggap perbedaan itu boleh, kehidupan
yang makmur, agilitas, sikap perspektif global, berkomitmen cita-cita, kausa
dan produk dengan alasan spesifik.
“Gaya bekerja generasi Y pada umumnya
bercirikan bekerja sebagai ekspresi diri, cenderung pada multitugas, menyukai
aktivitas paralel, lebih menghargai kehidupan di luar kerja, senang mencari
lingkungan kerja yang santai, mengedepankan nilai CSR, menghargai isu-isu
global, cenderung mencari kerja tim, senang pada hal yang cepat dan instant,
serta selalu fokus pada gaya hidup”, papar pemakalah.
Sementara itu, masih menurut pemakalah,
generasi Y dalam urusan komunikasi cenderung untuk menuliskan tentang diri (text me), berhadapan muka antara satu
sama lain melalui perangkat media sosial, juga cenderung memanfaatkan
kartunisasi sebagai alat bantu komunikasi.
“Dalam urusan financial, generasi Y cenderung senang menabung, juga sedapat
mungkin memanfaatkan sarana perbankan berupa pinjaman dan kredit, tak mau
ketinggalan berinvestasi dengan nilai pengembalian yang tinggi, memperhatikan
gaya hidup, suka bertempat tinggal di apartemen dan gedung-gedung mewah”,
pungkas Cyltamia Irawan.
By : Dedik