Kita
seringkali mendapati guru-guru sejarah di sekolah lanjutan, keliru
membedakan dua nama Douwes Dekker. Nama pejuang keadilan ini dipakai oleh
dua orang. Tapi anehnya, orang kerap menyamakan antara Douwes
Dekker Multatuli dan Douwes Dekker Setiabudi. Padahal,
mereka berbeda.
Perlu kita
ketahui, dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ada dua nama
Douwes Dekker. Pertama adalah Eduard
Douwes Dekker, penulis Max Havelaar.
Douwes Dekker yang satu ini dikenal sebagai Multatuli,
nama samarannya dalam Max Havelaar.
Multatuli lahir pada
tanggal 2 Maret 1820 di Korsjespoortseeg, Amsterdam. Ayahnya
seorang kapten kapal. Semula, Multatuli dimasukkan ke sekolah
pendeta. Tapi, akhirnya ia bekerja di kantor dagang. Setelah
itu ia berlayar ke Hindia Belanda. Tanggal 4 Januari
1839 Multatuli mendarat di Batavia.
Selama tinggal di
Hindia Belanda, Multatuli beberapa kali pindah pekerjaan. Pertama
ia bekerja sebagai ambtenar di Dewan Pengawas Keuangan di
Batavia. Karena kurang cocok, ia pindah ke Natal – Sumatera
Barat. Di Padang Hulu, Multatuli menjadi kontrolir. Setelah
itu ia terus pindah dari satu tempat ke tempat lain, di antaranya
: Kerawang, Bagelan, Manado, Ambon hingga akhirnya
menjadi Asisten Residen di Lebak.
Image : Google
Ketika
bertugas di Lebak, Multatuli melihat beberapa penyimpangan dan
penderitaan rakyat. Rupanya penindasan tidak hanya dilakukan oleh kaum
penjajah. Tapi juga oleh para penguasa pribumi yang menjilat kepada kaum
kolonialis. Multatuli tidak tahan melihat hal itu, ia ingin
meluruskan dengan mengirim surat protes kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda
di Batavia. Tapi, kenyataannya malah dia yang
dibebastugaskan, karena dianggap kurang memahami pemerintahan kolonial.
Ia betul-betul kecewa. Karena frustasi, Multatuli kembali ke
Eropa. Ia tinggal di Belgia sambil menulis buku Max Havelaar. Buku itu menjadi karya
besar. Max Havelaar telah membuka mata dunia tentang
kebiadaban pemerintah kolonial di Indonesia. Dalam buku tersebut
diceritakan kisah cinta Saidjah dan Adinda yang harus terputus karena kekejaman
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Multatuli
meninggal pada tanggal 19 Februari 1887 di Neider Ingelheim,
Belgia. Sebagai penghormatan dan perjuangannya menegakkan keadilan di
Hindia Belanda, jenazahnya dikremasikan di Gotha. Douwes Dekker yang satu
lagi adalah Dr. Danudirja Setiabudi. Nama lengkapnya adalah Ernest Eugene Francois Dauwes Dekker.
Setiabudi adalah seorang Indo yang tidak mau mengakui ke-Indoannya. Dia
masih keponakan jauh dari Multatuli. Setiabudi lahir pada tanggal
28 Oktober 1879 di Pasuruan – Jawa Timur.
Setiabudi
adalah seorang patriotik. Semula ia bekerja di perkebunan, dan pernah
menjadi guru kimia di Malang. Selain itu ia pun pernah menjadi
sukarelawan dalam Perang Boer melawan Inggris di Afrika Selatan. Dalam
perang itu, ia ditawan pasukan Inggris dan dipenjarakan di Srilanka. Setelah
bebas dan kembali ke Indonesia, Setiabudi bergerak dan berjuang sebagai
wartawan dengan menerbitkan harian De
Express. Tahun 1912 bersama Ki Hajar Dewantara, Dr.
Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Setiabudi mendirikan
partai politik Indische Partij,
merupakan partai politik pertama yang lahir di Indonesia. Dalam sejarah
perjuangan, mereka bertiga disebut Tiga Serangkai. Keinginan untuk menyatukan golongan Indo
dengan pribumi merupakan niat luhur dari Setiabudi. Sebab, baginya golongan
Indo merupakan kelompok yang terlunta-lunta. Mereka tidak pernah
menganggap Indonesia sebagai tumpah darah mereka, tapi di negeri Belanda
sendiri mereka tersisih.
Image : Google
Tahun 1913 bersama rekan-rekan seperjuangan, Setiabudi
membentuk Komite Bumi Putera. Komite itu dibentuk untuk menentang
peringatan bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis. Karena
kegiatan Komite Bumi Putera, Setiabudi akhirnya ditangkap dan diasingkan
ke negeri Belanda. Pada masa kemerdekaan, Setiabudi pernah duduk sebagai
Menteri dalam Kabinet Syahrir. Waktu Agresi Militer II, ia kembali
ditangkap dan dipenjarakan. Dr. Danudirja Setiabudi meninggal pada
tanggal 28 Agustus 1950 di Bandung.
Nah, sekarang jelas sudah perbedaan dua nama Douwes Dekker tadi.
Semoga saja, cakrawala pandang kita terhadap pengetahuan sejarah
perjuangan bangsa semakin terbuka lebar.
Karya : Drs.
Dedik Ekadiana
Guru
PPKn SMP Negeri 88,
Slipi - Jakarta