114 Tahun, KARTINI
Tiada
DARI REMBANG
TERBITLAH TERANG
Hari
ini setiap tanggal 21 April, semua wanita Indonesia merasa seperti berada di
sebuah kota kecil “REMBANG” Jawa Tengah. Bukan hanya hari ini, di saat
menjelang datangnya tanggal ini di setiap tahunnya kaum wanita selalu mengenang perjuangannya
sebagai salah satu tonggak sejarah yang amat penting dalam era Kebangkitan
Nasional dari wanita Indonesia dalam merebut serta meraih eksistensinya sebagai
wanita yang dalam masa kolonialisme Belanda, keberadaannya hampir-hampir tak
mempunyai arti.
Terukir
dalam tinta emas sejarah, bahwa ide-ide dari seorang putri bangsawan bernama
KARTINI yang disampaikan kepada sahabatnya di negeri Belanda berisi
pandangannya yang merupakan letupan bara api seorang wanita yang kehilangan
harga diri.
Segala sesuatu yang
dilakukannya di masa itu telah berhasil merubah pola pikir wanita Indonesia
yang dulu hanya sebagai warga negara kelas dua, terbatas dalam segala aktivitas
serta pandangannya menjadi sosok warga negara yang diperhitungkan
keberadaannya.
Pola
Pikir.
Kartini
dilahirkan 21 April 1879 di Desa Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, kendati
cuma 25 tahun menghirup udara segar di dunia ini dengan segala suka dan dukanya,
tetapi hakikat dan kehidupannya menjadi ispirator yang tak kunjung padam di
setiap dada kaum wanita Indonesia.
Ada falsafah “Hidup Singkat tetapi Bermakna”, itulah
sosok wanita teladan yang tidak bisa tinggal diam, pemikiran serta ide-idenya
mengungkapkan hati, terbelsit makna tersirat lewat pendirian. Ia sangat
mencintai tanah air Indonesia, tidak menyukai gaya hidup feodalisme, berusaha membuka
mata hati sekaligus berjuang terhadap kebebasan kaumnya. Ia optimis melihat
perspektif masa depan kaum wanita.
Mungkin masih terlalu sedikit yang
beliau lakukan terhadap bangsa dan negara ini, tetapi figurnya telah menjadi
embrio timbulnya kartini-kartini muda yang melestarikan serta mempertahankan
eksistensinya sebagai kaum wanita.
Sudah banyak terlahir srikandi-srikandi
Indonesia yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam kancah
pergaulan Internasional mulai dari bidang pendidikan, olahraga, sosial politik,
dan lain-lain.
Hal
ini telah menunjukkan betapa kedudukan pria maupun wanita tidak dapat
direndahkan maupun ditinggikan. Keduanya saling melengkapi untuk saling
bahu-membahu dalam rangka mencapai cita-cita perjuangan nasional.
Keteladanan.
Walau Kartini telah meninggal 114 tahun
lalu, ucapan berbagai orang bijak di seantero dunia mengatakan “Badan
dapat binasa, tetapi jiwa besar tetap hidup”. Kenyataan ini, sejarah menceritakan kepada
generasinya.
Dari Rembang, muncul seberkas cahaya
terang dari ruang kerjanya. Banyak ide, rencana, dan keteladanannya yang
terbentur dengan sistem kehidupan orang tuanya yang masih menganut feodalisme.
Image : Google
Dari ruang itu, kita melihat sebuah
kotak kecil berukir dan bermotif gaya Jepara. Tersimpan buku Door
Duister-nis Tot Licht, yaitu kumpulan
surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya orang Eropa antara tahun 1900 s.d.
1904.
Buku itu yang kemudian diterbitkan dan
diterjemahkan oleh penerbit Balai
Pustaka pada tahun 1911 dengan judul HABIS
GELAP, TERBITLAH TERANG, yang membukakan mata kaum wanita Indonesia maupun
orang-orang Kolonial Belanda ketika itu. Isinya memberikan semangat dan
inspirasi semua orang agar hak-hak kodrati kaum wanita dikembalikan secara
proporsional.
Dan
bagi kaum wanita, terutama yang hidup di era sekarang ini perlu membaca dan
menarik hikmah dari buku tersebut, di dalamnya banyak memberikan harapan dan
semangat juang pantang habis. Ingin mencari dan terus mencari jawabannya. Dan
jawaban itulah yang ada dalam kodrati kaum wanita.
Emansipasi.
Dengan semakin canggihnya teknologi
serta makin meluasnya ruang lingkup yang bisa diisi kaum wanita, membuatnya
berlomba-lomba berpacu meraih prestasi. Hal ini seringkali dijadikan argumen
untuk menjawab keberadaannya.
Pada masa sekarang, pendidikan memang
sudah merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar bagi siapa saja, tetapi
hendaknya out put dari proses
tersebut tidak melupakan jatidirinya, terlebih-lebih kaum wanita.
Tantangan kemajuan dan globalisasi mau
tidak mau mengharuskan kita melihat peranan pria dan wanita dalam satu tatanan
kemitra-sejajaran yang saling mengisi. Walaupun kita melihat perbedaan biologis
antara pria dan wanita, tetapi kita harus dapat pula melihat perbedaan gender
yang tidak sesuai harus dirubah.
Barangkali ini merupakan fenomena
sosial yang harus dijawab oleh para kartini di era sekarang, diperlukan sebuah
ke-arifan untuk mengetahui sendiri porsinya.
By
: Dedik