Sabtu, 07 April 2018

Kisah Nyata


MIMPI  MANIS  SANG  PUTRI  GUNUNG

    Kinanti tersenyum-senyum sendiri di depan kaca cermin kecil di kamarnya, siang itu, se-pulang dari sekolahnya yang berjarak 3 km dari rumah kakeknya. Hari itu adalah hari pertama remaja 15 tahun ini mengenyam pendidikannya di SMK.
    “Duhai diriku, di rumah ini sehari-hari aku hanya bertemu dengan kakekku dan kedua pamanku. Ibuku jarang menengokku di sini karena alasan sibuk mengurusi suami barunya di luar kota ini, sementara ayahku pun tak kalah sibuk dengan pekerjaannya, hanya sebulan dua kali ia menemuiku, putri tunggalnya yang merana di sini”, gumam Kinanti pada bayangan dirinya di cermin.
    Setiap kata yang keluar dari mulut mungilnya senantiasa diikuti oleh bayangan wajahnya sendiri di cermin itu, lain tidak. Tidak terasa, tiga tahun sudah ia melakukan hal yang sama setiap pulang dari sekolah. Seperti biasa, cermin yang diajaknya bicara hanya memantulkan gerak bibir dan gesturnya. Kendati demikian, Kinanti tak pernah bosan melakukan hal seperti itu.
    Mungkin ini semacam ungkapan kekecewaan seorang anak yang berangkat remaja terhadap kehidupan kedua orang tuanya yang tercerai-berai. Ia ingin kedua malaikat kecil penyebab kemunculan dirinya ke alam dunia ini kembali saling merajut tali kasih, namun waktu baik tampaknya tak akan pernah berpihak pada dirinya.  
    Kendati demikian, Kinanti semenjak duduk di kelas VII mempunyai beberapa teman senasib dengan dirinya; mereka rata-rata tumbuh menjadi remaja frustrasi akibat perceraian kedua orang tuanya. Kefrustrasian mereka terefleksi dengan ketertinggalan mereka dalam prestasi akademik di kelas, mereka banyak menghabiskan waktu di luar jam sekolah dengan gaya hidup tak jelas dan sia-sia. Bergidik sekujur tubuh Kinanti mengingat kebiasaan teman-temannya itu.
    Ia kadang mengingat-ingat kembali pesan-pesan ayahnya saat keduanya bertemu di luar rumah kakeknya, saat dirinya belum masuk SMK. Rupanya sweety princess  yang lahir dan tumbuh di kota hujan itu belum menyadari kalau dirinya menuruni sifat-sifat positif ayahandanya yang rajin mengingat setiap peristiwa penting dalam hidupnya.
Image  :  Google
    Ya, Kinanti sempat menjadi pengagum berat ayahnya sendiri saat masih di Sekolah Dasar. Kala itu, ayahnya yang bekerja sebagai penulis artikel di sebuah media cetak selalu memberikan hasil olahan kreatifnya yang terbaru kepada anak perempuan tunggalnya itu untuk konsumsi bacaan sehatnya. Mungkin kebiasaan yang baik ini lambat-laun menuntun Kinanti untuk mengikuti jejak ayahnya saat dewasa kelak.
    Sayangnya, jelang dirinya lulus Sekolah Dasar, ayah dan ibunya memutuskan tali perkawinan karena satu dan lain penyebab yang tidak pernah dimengerti oleh bocah itu. Padahal saat itu Kinanti secara total mengagumi kecerdasan sosok ayahnya dari sudut pandangnya sebagai anak Sekolah Dasar. Ia sempat menaruh dendam kesumat terhadap ayahnya, yang dianggapnya menzhalimi ibunya yang tidak bersalah.
    Dendam kesumatnya terlampiaskan saat enam bulan setelah kedua orang tuanya bercerai, ia membiarkan ibunya diperisteri oleh sosok lelaki lain yang belum pernah dikenalnya. Setelah ibunya menikah lagi dan diboyong oleh suami barunya tinggal di luar kota hujan, Kinanti dalam kesehariannya berada dalam suasana sebagai perempuan tercantik di rumahnya lantaran di rumah itu selain dirinya ada kakek dan kedua adik lelaki dari ibunya. Komunikasi dengan ayahnya sempat terputus selama beberapa bulan.
    Setelah dirinya duduk di kelas VIII, komunikasi dengan ayahnya terjalin kembali kendati tidak semesra masa dahulu. Kinanti tidak pernah mau menerima ajakan ayahnya untuk sekedar menginap di rumah ayahnya saat masa liburan sekolah, namun kekaguman terhadap ayahnya belum luntur. Kekaguman itu dibuktikannya setiap ada kesempatan bertemu dengan ayahnya di luar rumah. Seringkali ia mengerjai ayahnya dengan sejumlah PR sekolahnya untuk dibantu penyelesaiannya oleh sang ayah, padahal Kinanti di kelasnya selalu berada pada peringkat tiga besar.
    Kinanti pernah menuturkan pada ayahnya kalau teman-temannya kebanyakan anak-anak dosen di perguruan tinggi pertanian di kota hujan. Untungnya, sang ayah cukup arif menerima sikap putrinya seperti itu. Ia tak pernah memarahi putrinya, ia ingin Kinanti cepat menjadi mandiri di usia awal dewasa, karena ia menyadari sepenuhnya bahwa pilihan pola pembentukan watak bersifat mandiri adalah yang sangat tepat untuk putrinya yang terlanjur menjadi “korban” perceraian rumah tangganya.
    Disadari atau tidak oleh Kinanti, upaya duplikasi pembentukan karakter mandiri dari sang ayah terhadap anaknya berlangsung dengan mulus hingga anak itu merampungkan pendidikannya di SMK. Sementara itu, Kinanti di mata ayahnya adalah sosok anak yang bermental juara; bawaan lahir kata pemerhati budaya.
    Kendati dendam kesumat terhadap ayahnya belum padam juga, di sisi lain ia masih menyimpan kekaguman yang besar terhadap lelaki yang pernah mebahagiakan ibunya. Sang putri gunung ini, dalam kesendiriannya jelang tidur, sering memamah biak kembali dialog-dialog penting dengan ayahnya beberapa tahun silam. Suatu ketika saat dirinya baru di kelas VI Sekolah Dasar, ia pernah bertanya kepada ayahnya kalau dirinya punya peluang atau tidak bepergian ke luar negeri.
    “Sebelum berumur genap 20 tahun, anak ayah berpeluang besar menginjakkan kaki di luar wilayah Indonesia. Saat hal itu terjadi, anak ayah berstatus bukan sebagai pencari kerja, tetapi menyandang sosok orang dengan predikat terhormat”, tutur sang ayah setengah menghibur hati putri tunggalnya.
    Jawaban semacam itu sering menggantung di pikirannya setiap jelang tidur, sementara PR besar pribadi belum lagi terselesaikan; mengikuti jejak ayahnya menjadi penulis kreatif.
    “Darimana aku harus memulai langkah besar ini, sementara sekarang aku masih berada di Sekolah Menengah Kejuruan?” tanya Kinanti pada dirinya sendiri.
    Kegalauan ini dikeluhkannya pula pada sang ayah.
    “Anakku, tolong camkan betul bahwa setiap orang yang terlahir ke dunia telah membawa predikat juara. Betapa tidak. Contohnya dirimu sendiri. Dikau terlahir dan diberi nama Kinanti setelah bentuk tubuhmu sempurna tampak di hadapan ayah dan ibu, namun sebelum itu engkau hanyalah satu di antara jutaan benih calon manusia yang berkejar-kejaran satu sama lain di sebuah ruangan gelap yang bernama alam rahim. Kalian yang belum bernama saat itu berebutan untuk masuk ke dalam satu lingkaran super kecil yang bernama ovum. Lingkaran kecil itu hanya memiliki satu pintu yang membuka diri dalam hitungan sepersekian ribu detik; sekali membuka, lalu tertutup selamanya. Hanya satu noktah di antara kalian yang belum bernama itu berhasil menerobos masuk celah pintu itu, dan mengeram hingga hitungan 38 minggu menurut hitungan ginekologi. Satu di antara kalian itulah yang di sebut juara, di kemudian hari bakal menyandang nama, Kinanti, Indira Gandhi, Evita Peron, dan lain-lain", tutur sang ayah.
    Jadi, imbuh sang ayah, predikat juara itu selayaknya bukan hanya disandang oleh setiap bayi yang baru lahir, namun alangkah lebih baik lagi direkatkan sebagai cap diri yang berkualitas dan kompetitif.
    “Orang yang bermental juara itu bukan saja pandai melihat peluang, tetapi menciptakan peluang yang baik demi mencapai tujuan hidup yang lebih baik untuk dirinya sendiri”, pungkas sang ayah diikuti anggukan kepala dari Kinanti pertanda mengerti.
    Secara kebetulan, ketika Kinanti duduk di SMK, ia memilih jurusan multimedia; terkait erat dengan teknologi komunikasi berbasis internet. Ia berpikir, di situ ada peluang besar untuknya membentuk identitas diri sekaligus menjadi wahana yang mengantarkan dirinya mewujudkan cita menjadi penulis kreatif.
    Segera sang putri gunung itu membangun inisiatif memanfaatkan teknologi berbasis internet untuk mengejar mimpinya. Sepanjang tiga tahun ia mengikuti pendidikan di SMK, telah puluhan kali ia memperoleh predikat terhormat dari lomba penulisan kreatif di dunia maya. Bahkan ia telah mempersiapkan langkah ambil jurusan sastra untuk pendidikan tingginya nanti, namun terbentur  biaya pendidikan yang belum tersedia,
    Ayahnya mengingatkan, Kinanti dapat terus mengasah kemampuan kepenulisannya tanpa harus meneruskan dulu pendidikannya di jurusan sastra.
    “Engkau adalah siswi sekolah kejuruan yang dikondisikan untuk langsung bekerja selepas SMK. Jadi, kelak sambil bekerja engkau bisa terus mengasah kemampuanmu dalam menulis. Manfaatkan terus event-event yang ada hingga dirimu punya merek sendiri sebagai penulis kreatif”, papar ayahnya.
    Ayahnya juga menambahkan, beberapa nama besar dari penulis kreatif Indonesia bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan sastra.
    “Taufik Ismail dan Emha Ainun Najib adalah contoh penulis kreatif Indonesia yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi jurusan sastra”, pungkas ayahnya.
    Masukan berharga dari sang ayah rupanya mampu menenangkan ambisi Kinanti yang bergejolak. Selepas SMK, ia sempat beberapa bulan meninggalkan aktivitas kepenulisannya; bekerja sebagai admin di sebuah rumah makan di bilangan Pondok Gede.
    Akan tetapi dunia kepenulisan yang telah dirintisnya sejak awal SMK-nya senantiasa melambai-lambaikan bendera keemasan ke arah dirinya. Ibarat sebuah menara gading, di puncaknya terbaca mimpi-mimpi manis sang putri gunung bakal terwujud dalam kenyataan yang segera tiba dalam waktu dekat.
    Kinanti terhentak dari lamunan. Ia bergegas meninggalkan pekerjaan awalnya, kembali ke aktivitas kepenulisan. Ia memperoleh angin segar tatkala ada sebuah penerbitan terletak dekat SMP-nya dahulu bersedia membagi tempat untuk dirinya mengembangkan aktivitas kepenulisan menjadi lebih profesional.
    Dari lembaga penerbitan itulah, mimpi-mimpi besar sang putri gunung satu demi satu bermunculan, dan merajut ucap hiburan yang pernah diungkapkan ayahnya delapan tahun silam.
    Di samping dirinya telah bisa melanjutkan pendidikan tingginya, empat bulan jelang ulang tahunnya yang ke-20, Kinanti benar-benar beroleh kehormatan menjadi tim kreatif dari lembaga penerbitan tempatnya bekerja untuk mengikuti pekan penerbitan buku bersama di Singapura.
    Mimpi manis sang putri gunung muncul bersama kenang-kenangan wejangan dari ayahanda tercinta……..
By  :  Dedik Ekadiana

PUISI : NUANSA RAMADHAN 2020

NUANSA   RAMADHAN   2020 Karya : Dedik Ekadiana Langit berpayungkan lazuardi Awan bercengkrama dan menderu Alam bertakhta tuk ...