MIMPI MANIS
SANG PUTRI GUNUNG
Kinanti tersenyum-senyum sendiri di depan
kaca cermin kecil di kamarnya, siang itu, se-pulang dari sekolahnya yang
berjarak 3 km dari rumah kakeknya. Hari itu adalah hari pertama remaja 15 tahun
ini mengenyam pendidikannya di SMK.
“Duhai diriku, di rumah ini sehari-hari aku
hanya bertemu dengan kakekku dan kedua pamanku. Ibuku jarang menengokku di sini
karena alasan sibuk mengurusi suami barunya di luar kota ini, sementara ayahku
pun tak kalah sibuk dengan pekerjaannya, hanya sebulan dua kali ia menemuiku,
putri tunggalnya yang merana di sini”, gumam Kinanti pada bayangan dirinya di
cermin.
Setiap kata yang keluar dari mulut
mungilnya senantiasa diikuti oleh bayangan wajahnya sendiri di cermin itu, lain
tidak. Tidak terasa, tiga tahun sudah ia melakukan hal yang sama setiap pulang
dari sekolah. Seperti biasa, cermin yang diajaknya bicara hanya memantulkan
gerak bibir dan gesturnya. Kendati demikian, Kinanti tak pernah bosan melakukan
hal seperti itu.
Mungkin ini semacam ungkapan kekecewaan
seorang anak yang berangkat remaja terhadap kehidupan kedua orang tuanya yang
tercerai-berai. Ia ingin kedua malaikat kecil penyebab kemunculan dirinya ke
alam dunia ini kembali saling merajut tali kasih, namun waktu baik tampaknya
tak akan pernah berpihak pada dirinya.
Kendati demikian, Kinanti semenjak duduk di
kelas VII mempunyai beberapa teman senasib dengan dirinya; mereka rata-rata
tumbuh menjadi remaja frustrasi akibat perceraian kedua orang tuanya.
Kefrustrasian mereka terefleksi dengan ketertinggalan mereka dalam prestasi
akademik di kelas, mereka banyak menghabiskan waktu di luar jam sekolah dengan
gaya hidup tak jelas dan sia-sia. Bergidik sekujur tubuh Kinanti mengingat
kebiasaan teman-temannya itu.
Ia kadang mengingat-ingat kembali
pesan-pesan ayahnya saat keduanya bertemu di luar rumah kakeknya, saat dirinya
belum masuk SMK. Rupanya sweety princess yang lahir dan tumbuh di kota hujan itu belum
menyadari kalau dirinya menuruni sifat-sifat positif ayahandanya yang rajin
mengingat setiap peristiwa penting dalam hidupnya.
Image : Google
Ya, Kinanti sempat menjadi pengagum berat
ayahnya sendiri saat masih di Sekolah Dasar. Kala itu, ayahnya yang bekerja
sebagai penulis artikel di sebuah media cetak selalu memberikan hasil olahan kreatifnya
yang terbaru kepada anak perempuan tunggalnya itu untuk konsumsi bacaan
sehatnya. Mungkin kebiasaan yang baik ini lambat-laun menuntun Kinanti untuk
mengikuti jejak ayahnya saat dewasa kelak.
Sayangnya, jelang dirinya lulus Sekolah Dasar,
ayah dan ibunya memutuskan tali perkawinan karena satu dan lain penyebab yang
tidak pernah dimengerti oleh bocah itu. Padahal saat itu Kinanti secara total
mengagumi kecerdasan sosok ayahnya dari sudut pandangnya sebagai anak Sekolah Dasar.
Ia sempat menaruh dendam kesumat terhadap ayahnya, yang dianggapnya menzhalimi
ibunya yang tidak bersalah.
Dendam kesumatnya terlampiaskan saat enam
bulan setelah kedua orang tuanya bercerai, ia membiarkan ibunya diperisteri
oleh sosok lelaki lain yang belum pernah dikenalnya. Setelah ibunya menikah
lagi dan diboyong oleh suami barunya tinggal di luar kota hujan, Kinanti dalam
kesehariannya berada dalam suasana sebagai perempuan tercantik di rumahnya
lantaran di rumah itu selain dirinya ada kakek dan kedua adik lelaki dari
ibunya. Komunikasi dengan ayahnya sempat terputus selama beberapa bulan.
Setelah dirinya duduk di kelas VIII,
komunikasi dengan ayahnya terjalin kembali kendati tidak semesra masa dahulu.
Kinanti tidak pernah mau menerima ajakan ayahnya untuk sekedar menginap di
rumah ayahnya saat masa liburan sekolah, namun kekaguman terhadap ayahnya belum
luntur. Kekaguman itu dibuktikannya setiap ada kesempatan bertemu dengan
ayahnya di luar rumah. Seringkali ia mengerjai ayahnya dengan sejumlah PR sekolahnya
untuk dibantu penyelesaiannya oleh sang ayah, padahal Kinanti di kelasnya
selalu berada pada peringkat tiga besar.
Kinanti pernah menuturkan pada ayahnya
kalau teman-temannya kebanyakan anak-anak dosen di perguruan tinggi pertanian
di kota hujan. Untungnya, sang ayah cukup arif menerima sikap putrinya seperti
itu. Ia tak pernah memarahi putrinya, ia ingin Kinanti cepat menjadi mandiri di
usia awal dewasa, karena ia menyadari sepenuhnya bahwa pilihan pola pembentukan
watak bersifat mandiri adalah yang sangat tepat untuk putrinya yang terlanjur
menjadi “korban” perceraian rumah tangganya.
Disadari atau tidak oleh Kinanti, upaya
duplikasi pembentukan karakter mandiri dari sang ayah terhadap anaknya berlangsung
dengan mulus hingga anak itu merampungkan pendidikannya di SMK. Sementara itu,
Kinanti di mata ayahnya adalah sosok anak yang bermental juara; bawaan lahir
kata pemerhati budaya.
Kendati dendam kesumat terhadap ayahnya
belum padam juga, di sisi lain ia masih menyimpan kekaguman yang besar terhadap
lelaki yang pernah mebahagiakan ibunya. Sang putri gunung ini, dalam
kesendiriannya jelang tidur, sering memamah biak kembali dialog-dialog penting
dengan ayahnya beberapa tahun silam. Suatu ketika saat dirinya baru di kelas VI
Sekolah Dasar, ia pernah bertanya kepada ayahnya kalau dirinya punya peluang
atau tidak bepergian ke luar negeri.
“Sebelum
berumur genap 20 tahun, anak ayah berpeluang besar menginjakkan kaki di luar
wilayah Indonesia. Saat hal itu terjadi, anak ayah berstatus bukan sebagai
pencari kerja, tetapi menyandang sosok orang dengan predikat terhormat”,
tutur sang ayah setengah menghibur hati putri tunggalnya.
Jawaban semacam itu sering menggantung di
pikirannya setiap jelang tidur, sementara PR besar pribadi belum lagi
terselesaikan; mengikuti jejak ayahnya menjadi penulis kreatif.
“Darimana aku harus memulai langkah besar
ini, sementara sekarang aku masih berada di Sekolah Menengah Kejuruan?” tanya
Kinanti pada dirinya sendiri.
Kegalauan ini dikeluhkannya pula pada sang
ayah.
“Anakku,
tolong camkan betul bahwa setiap orang yang terlahir ke dunia telah membawa
predikat juara. Betapa tidak. Contohnya dirimu sendiri. Dikau terlahir dan
diberi nama Kinanti setelah bentuk tubuhmu sempurna tampak di hadapan ayah dan
ibu, namun sebelum itu engkau hanyalah satu di antara jutaan benih calon
manusia yang berkejar-kejaran satu sama lain di sebuah ruangan gelap yang
bernama alam rahim. Kalian yang belum bernama saat itu berebutan untuk masuk ke
dalam satu lingkaran super kecil yang bernama ovum. Lingkaran kecil itu hanya
memiliki satu pintu yang membuka diri dalam hitungan sepersekian ribu detik;
sekali membuka, lalu tertutup selamanya. Hanya satu noktah di antara kalian
yang belum bernama itu berhasil menerobos masuk celah pintu itu, dan mengeram
hingga hitungan 38 minggu menurut hitungan ginekologi. Satu di antara kalian
itulah yang di sebut juara, di kemudian hari bakal menyandang nama, Kinanti,
Indira Gandhi, Evita Peron, dan lain-lain", tutur sang ayah.
Jadi, imbuh sang ayah, predikat juara itu
selayaknya bukan hanya disandang oleh setiap bayi yang baru lahir, namun
alangkah lebih baik lagi direkatkan sebagai cap diri yang berkualitas dan
kompetitif.
“Orang
yang bermental juara itu bukan saja pandai melihat peluang, tetapi menciptakan
peluang yang baik demi mencapai tujuan hidup yang lebih baik untuk dirinya sendiri”,
pungkas sang ayah diikuti anggukan kepala dari Kinanti pertanda mengerti.
Secara kebetulan, ketika Kinanti duduk di
SMK, ia memilih jurusan multimedia; terkait erat dengan teknologi komunikasi
berbasis internet. Ia berpikir, di situ ada peluang besar untuknya membentuk
identitas diri sekaligus menjadi wahana yang mengantarkan dirinya mewujudkan cita
menjadi penulis kreatif.
Segera sang putri gunung itu membangun
inisiatif memanfaatkan teknologi berbasis internet untuk mengejar mimpinya.
Sepanjang tiga tahun ia mengikuti pendidikan di SMK, telah puluhan kali ia
memperoleh predikat terhormat dari lomba penulisan kreatif di dunia maya.
Bahkan ia telah mempersiapkan langkah ambil jurusan sastra untuk pendidikan
tingginya nanti, namun terbentur biaya
pendidikan yang belum tersedia,
Ayahnya mengingatkan, Kinanti dapat terus
mengasah kemampuan kepenulisannya tanpa harus meneruskan dulu pendidikannya di
jurusan sastra.
“Engkau
adalah siswi sekolah kejuruan yang dikondisikan untuk langsung bekerja selepas
SMK. Jadi, kelak sambil bekerja engkau bisa terus mengasah kemampuanmu dalam
menulis. Manfaatkan terus event-event yang ada hingga dirimu punya merek
sendiri sebagai penulis kreatif”, papar ayahnya.
Ayahnya juga menambahkan, beberapa nama
besar dari penulis kreatif Indonesia bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan
sastra.
“Taufik
Ismail dan Emha Ainun Najib adalah contoh penulis kreatif Indonesia yang tidak
pernah mengenyam pendidikan tinggi jurusan sastra”, pungkas ayahnya.
Masukan berharga dari sang ayah rupanya
mampu menenangkan ambisi Kinanti yang bergejolak. Selepas SMK, ia sempat
beberapa bulan meninggalkan aktivitas kepenulisannya; bekerja sebagai admin di
sebuah rumah makan di bilangan Pondok Gede.
Akan tetapi dunia kepenulisan yang telah
dirintisnya sejak awal SMK-nya senantiasa melambai-lambaikan bendera keemasan
ke arah dirinya. Ibarat sebuah menara gading, di puncaknya terbaca mimpi-mimpi
manis sang putri gunung bakal terwujud dalam kenyataan yang segera tiba dalam
waktu dekat.
Kinanti terhentak dari lamunan. Ia bergegas
meninggalkan pekerjaan awalnya, kembali ke aktivitas kepenulisan. Ia memperoleh
angin segar tatkala ada sebuah penerbitan terletak dekat SMP-nya dahulu
bersedia membagi tempat untuk dirinya mengembangkan aktivitas kepenulisan
menjadi lebih profesional.
Dari lembaga penerbitan itulah, mimpi-mimpi
besar sang putri gunung satu demi satu bermunculan, dan merajut ucap hiburan
yang pernah diungkapkan ayahnya delapan tahun silam.
Di samping dirinya telah bisa melanjutkan
pendidikan tingginya, empat bulan jelang ulang tahunnya yang ke-20, Kinanti
benar-benar beroleh kehormatan menjadi tim kreatif dari lembaga penerbitan
tempatnya bekerja untuk mengikuti pekan penerbitan buku bersama di Singapura.
Mimpi manis sang putri gunung muncul
bersama kenang-kenangan wejangan dari ayahanda tercinta……..
By :
Dedik Ekadiana