Kamis, 04 Januari 2018

RITUAL ADAT TENGGER

KASODO, UPACARA RITUAL ADAT TENGGER


Bumi Cipondoh Asri,  Tangerang
Siapa tak kenal dengan masyarakat Tengger ? Masyarakat yang hidup di lereng Pegunungan Tengger ini konon banyak menarik perhatian para budayawan bahkan wisatawan manca negara. Tak ubahnya masyarakat suku Naga di wilayah Tasikmalaya, begitu pula suku Baduy di kawasan Banten. Mereka tergolong unik dan masih mempertahankan kehidupan yang begitu terikat pada tradisi.
  Suku Tengger berasal dari dua tokoh kerajaan Majapahit. Ketika itu Brawijaya mempunyai putri bernama  Rara Anteng.  Putri ini dinikahkan dengan  Joko Seger,  seorang pemuda yang masih keturunan Brahmana. Ketika Agama Islam mengembangkan pengaruhnya di Pulau Jawa,  sebagian rakyat Majapahit yang setia kepada Agama Hindu melarikan diri ke pegunungan di kaki Gunung Bromo. Kelompok Majapahit ini dipimpin langsung oleh  Joko Seger  dan  Roro Anteng. Kombinasi kedua tokoh tersebut akhirnya berubah menjadi akronim Tengger  (Teng berasal dari Roro Anteng, Ger berasal dari Joko Seger).
Image : Google
  Cikal bakal masyarakat Tengger beragama Hindu, untuk itu tradisi agama ini masih terkesan kental. Setahun sekali warga Tengger mengadakan upacara atau ritual ke-agamaan di Puncak Gunung Bromo dan Lautan Pasir. Menurut kalender masehi, upacara tersebut jatuh pada bulan ke-12 saat bulan purnama tiba, tepatnya di pertengahan bulan. Upacara ke-agamaan yang di sebut KASODO melambangkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta, yang diwujudkan dengan mengorbankan hasil sawah, ladang,  dan ternak sebagai persembahan.
  Kawah Gunung Bromo dianggap sebagai tempat mensucikan arwah manusia, yang mereka kenal dengan Entas-Entas (pelabuhan transit bagi arwah yang hendak menuju ke kahyangan). Sebelum mencapai gerbang kahyangan, arwah-arwah itu harus bersih dari noda dan dosa yang pernah mereka lakukan semasa hidup. Entas-Entas dilaksanakan pada hari ke-44 setelah kematian;  bisa juga dilaksanakan pada hari lain; bergantung kemampuan ekonomi keluarga yang hendak melaksanakan upacara keagamaan.  Upacara dilakukan dengan menggunakan boneka dari daun pampaung, tanah layu, nayakuh, kenikar, dan janur kuning. Boneka sebagai simbol orang disebut PETRA, yang dihias dengan pakaian milik almarhum. Jumlah petra disesuaikan dengan sosok yang hendak di-entaskan.
Image : Google
  Upacara kematian ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia membacakan mantera, kemudian memasukkan petra ke dalam pengaron (periuk terbuat dari tanah liat). Di saat membaca mantera, sang dukun menghadap ke arah Barat. Saat itu pula, di hadapan sang dukun duduk sejumlah anak-anak kecil bertelanjang dada dan berkerudung kain putih. Mereka duduk berjejer sesuai dengan jumlah sosok yang hendak di-entaskan.  Di pertengahan pembacaan mantera, sang dukun mulai menanak nasi, bahan bakarnya dari buah jarak kering, kemudian mengambil beberapa lembar rambut dari masing-masing ubun-ubun anak kecil dan membakarnya. Selanjutnya kerudung putih tersebut diberi jarum sambil ditaburi beras di kepala anak-anak kecil itu. Upacara terkesan unik, tampak setelah sang dukun mengempit ayam putih dan membiarkannya mematoki beras di kepala anak-anak. Seorang yang dianggap sebagai sesepuh dari keluarga tersebut, membelah kelapa persis di depan pintu; diiringi pembacaan mantera penutup seraya melepaskan pakaian pembungkus setiap petra. Petra tersebut digendong para ibu kemudian dimasukkan ke danyang (tempat para roh jahat) lalu dibakar. Sesudah itu mereka membawa iber-iber berupa ayam yang dimaksudkan sebagai pengganti mayat dalam ngaben, seperti dilakukan di Bali.  
Image : Google
 Sebagai pelengkap upacara dibutuhkan perangkat sedekah praskayopan (setumpuk daun sirih, takir berisi pinang dan bunga, di atasnya diletakkan srebu atau pincuk kecil berisi talas dan kacang rebus yang ditaburi parutan kelapa). Bagian atas praskayopan ditaruh beberapa busana, kemudian dinaikkan ke loteng bersama klontongan dengan diiringi mantera. Malam harinya gamelan ditabuh bertalu-talu, dilanjutkan dengan permainan teka-teki dan sodoran, dan diakhiri dengan doa, barulah sang dukun membagikan uang logam ke perserta upacara. Uang logam tersebut dimanfaatkan sebagai jimat, yang sebelumnya harus menukar dulu dengan uang logam lain yang hendak disimpan di kluntung. Uang logam inilah yang nantinya digunaan dalam Upacara Karo tahun berikutnya.
  Upacara Wilujengan Karo lazimnya dilaksanakan pada tanggal 7 bulan kedua, untuk mmperingati roh leluhur atau bapak biyung, sebagai pendahulu generasi yang ada saat sekarang.
Selanjutnya, Wilujeng Kapat, upacara ini dilaksanakan guna memperingati sedulur papat, limo pancer, momong jangkung (penjaga desa), dan monco papating dusun atau kiblat empat desa.
  Wilujengan Kapitu jatuh pada tanggal 1 bulan ketujuh, diadakan puasa geni yang dianjutkan dengan puasa mutih selama 28 hari, dan diakhiri dengan puasa patigeni. Biasaanya puasa ini dilakukan oleh pamong desa, dukun, para sesepuh, dan masyarakat yang dianggap mampu menjalani puasa tersebut.
  Wilujeng Kawulo, pelaksanaannya pada tanggal 1 bulan kedelapan. Tujuannya untuk menyelamatkan bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan angkasa luar lainnya. Wilujengan kapat, kpitu, dan kawulo ini dalam sesaji sama dengan wilujengan karo; manteranya saja yang berbeda.
 Wilujengan Kasongo diadakan pada tanggal panglong bulan kesembilan. Tujuannya untuk menyelamatkan babatan hawa songo atau Sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia. Sedang Wilujengan Kasodo diadakan pada tanggal 14 bulan kasodo di laut pasir Gunung Bromo.
  Unik dan menarik, begitulah kesan upacara ini. Kendatipun terlihat kuno bagi sebagian besar masyarakat modern, namun banyak aset-aset budaya yang bisa kita simak. Se-kuno apapun upacara ritual/tradisi di wilayah Tengger ini tak bisa kita sangkal, di sana tersimpan gaya hidup yang justru bisa kita jadikan pelajaran berharga, terutama dalam hal menghargai lingkungan hidup yang umumnya nyaris lolos dari perhatian masyarakat modern, yang hanya hidup dengan memburu harta.
 Sebagai aset wisata, kelestarian budaya masyarakat Tengger perlu dipertahankan. Bukan hanya sebagai figur atau tontonan menarik melainkan sebagai museum hidup yang menyimpan nilai-nilai sejarah.

By : Dedik

PUISI : NUANSA RAMADHAN 2020

NUANSA   RAMADHAN   2020 Karya : Dedik Ekadiana Langit berpayungkan lazuardi Awan bercengkrama dan menderu Alam bertakhta tuk ...