KASODO, UPACARA RITUAL ADAT TENGGER
Bumi Cipondoh Asri, Tangerang
Siapa tak
kenal dengan masyarakat Tengger ? Masyarakat yang hidup di lereng Pegunungan
Tengger ini konon banyak menarik perhatian para budayawan bahkan wisatawan
manca negara. Tak ubahnya masyarakat suku Naga di wilayah Tasikmalaya, begitu
pula suku Baduy di kawasan Banten. Mereka tergolong unik dan masih
mempertahankan kehidupan yang begitu terikat pada tradisi.
Suku Tengger berasal dari dua tokoh kerajaan
Majapahit. Ketika itu Brawijaya mempunyai putri bernama Rara Anteng. Putri ini dinikahkan dengan Joko Seger, seorang pemuda yang masih keturunan Brahmana.
Ketika Agama Islam mengembangkan pengaruhnya di Pulau Jawa, sebagian rakyat Majapahit yang setia kepada
Agama Hindu melarikan diri ke pegunungan di kaki Gunung Bromo. Kelompok
Majapahit ini dipimpin langsung oleh Joko
Seger dan Roro Anteng. Kombinasi kedua tokoh tersebut akhirnya
berubah menjadi akronim Tengger (Teng
berasal dari Roro Anteng, Ger berasal dari Joko Seger).
Image : Google
Cikal bakal masyarakat Tengger beragama Hindu,
untuk itu tradisi agama ini masih terkesan kental. Setahun sekali warga Tengger
mengadakan upacara atau ritual ke-agamaan di Puncak Gunung Bromo dan Lautan
Pasir. Menurut kalender masehi, upacara tersebut jatuh pada bulan ke-12 saat
bulan purnama tiba, tepatnya di pertengahan bulan. Upacara ke-agamaan yang di
sebut KASODO melambangkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang
Pencipta, yang diwujudkan dengan mengorbankan hasil sawah, ladang, dan ternak sebagai persembahan.
Kawah Gunung Bromo dianggap sebagai tempat
mensucikan arwah manusia, yang mereka kenal dengan Entas-Entas (pelabuhan transit bagi arwah yang hendak
menuju ke kahyangan). Sebelum mencapai gerbang kahyangan, arwah-arwah itu
harus bersih dari noda dan dosa yang pernah mereka lakukan semasa hidup. Entas-Entas dilaksanakan pada hari ke-44
setelah kematian; bisa juga dilaksanakan
pada hari lain; bergantung kemampuan ekonomi keluarga yang hendak melaksanakan
upacara keagamaan. Upacara dilakukan dengan
menggunakan boneka dari daun pampaung, tanah layu, nayakuh, kenikar, dan janur
kuning. Boneka sebagai simbol orang disebut PETRA, yang dihias dengan pakaian milik almarhum. Jumlah petra
disesuaikan dengan sosok yang hendak di-entaskan.
Image : Google
Upacara kematian ini dipimpin oleh seorang
dukun. Ia membacakan mantera, kemudian memasukkan petra ke dalam pengaron
(periuk terbuat dari tanah liat). Di
saat membaca mantera, sang dukun menghadap ke arah Barat. Saat itu pula, di
hadapan sang dukun duduk sejumlah anak-anak kecil bertelanjang dada dan
berkerudung kain putih. Mereka duduk berjejer sesuai dengan jumlah sosok yang
hendak di-entaskan. Di pertengahan
pembacaan mantera, sang dukun mulai menanak nasi, bahan bakarnya dari buah
jarak kering, kemudian mengambil beberapa lembar rambut dari masing-masing
ubun-ubun anak kecil dan membakarnya. Selanjutnya kerudung putih tersebut
diberi jarum sambil ditaburi beras di kepala anak-anak kecil itu. Upacara
terkesan unik, tampak setelah sang dukun mengempit ayam putih dan membiarkannya
mematoki beras di kepala anak-anak. Seorang yang dianggap sebagai sesepuh dari
keluarga tersebut, membelah kelapa persis di depan pintu; diiringi pembacaan
mantera penutup seraya melepaskan pakaian pembungkus setiap petra. Petra
tersebut digendong para ibu kemudian dimasukkan ke danyang (tempat para roh jahat) lalu dibakar.
Sesudah itu mereka membawa iber-iber berupa ayam yang dimaksudkan sebagai
pengganti mayat dalam ngaben, seperti dilakukan di Bali.
Image : Google
Sebagai pelengkap upacara dibutuhkan perangkat
sedekah
praskayopan (setumpuk daun sirih,
takir berisi pinang dan bunga, di atasnya diletakkan srebu atau pincuk kecil
berisi talas dan kacang rebus yang ditaburi parutan kelapa). Bagian atas
praskayopan ditaruh beberapa busana, kemudian dinaikkan ke loteng bersama
klontongan dengan diiringi mantera. Malam harinya gamelan ditabuh bertalu-talu,
dilanjutkan dengan permainan teka-teki dan sodoran, dan diakhiri dengan doa,
barulah sang dukun membagikan uang logam ke perserta upacara. Uang logam
tersebut dimanfaatkan sebagai jimat, yang sebelumnya harus menukar dulu dengan
uang logam lain yang hendak disimpan di kluntung. Uang logam inilah yang
nantinya digunaan dalam Upacara Karo tahun berikutnya.
Upacara Wilujengan Karo lazimnya
dilaksanakan pada tanggal 7 bulan kedua, untuk mmperingati roh leluhur atau
bapak biyung, sebagai pendahulu generasi yang ada saat sekarang.
Selanjutnya, Wilujeng
Kapat, upacara ini dilaksanakan guna memperingati sedulur papat, limo
pancer, momong jangkung (penjaga
desa), dan monco papating dusun atau kiblat empat desa.
Wilujengan Kapitu jatuh pada tanggal
1 bulan ketujuh, diadakan puasa geni yang dianjutkan dengan puasa mutih selama
28 hari, dan diakhiri dengan puasa patigeni. Biasaanya puasa ini dilakukan oleh
pamong desa, dukun, para sesepuh, dan masyarakat yang dianggap mampu menjalani
puasa tersebut.
Wilujeng Kawulo, pelaksanaannya pada
tanggal 1 bulan kedelapan. Tujuannya untuk menyelamatkan bumi, air, api, angin,
matahari, bulan, bintang, dan angkasa luar lainnya. Wilujengan kapat, kpitu,
dan kawulo ini dalam sesaji sama dengan wilujengan karo; manteranya saja yang
berbeda.
Wilujengan Kasongo diadakan pada
tanggal panglong bulan kesembilan. Tujuannya untuk menyelamatkan babatan hawa
songo atau Sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia. Sedang Wilujengan
Kasodo diadakan pada tanggal 14 bulan kasodo di laut pasir Gunung Bromo.
Unik dan menarik, begitulah kesan upacara ini.
Kendatipun terlihat kuno bagi sebagian besar masyarakat modern, namun banyak
aset-aset budaya yang bisa kita simak. Se-kuno apapun upacara ritual/tradisi di
wilayah Tengger ini tak bisa kita sangkal, di sana tersimpan gaya hidup yang
justru bisa kita jadikan pelajaran berharga, terutama dalam hal menghargai
lingkungan hidup yang umumnya nyaris lolos dari perhatian masyarakat modern,
yang hanya hidup dengan memburu harta.
Sebagai
aset wisata, kelestarian budaya masyarakat Tengger perlu dipertahankan. Bukan
hanya sebagai figur atau tontonan menarik melainkan sebagai museum hidup yang
menyimpan nilai-nilai sejarah.
By : Dedik
By : Dedik