KEPRIBADIAN GURU, CERMIN DI MATA MURID
Setiap
manusia mempunyai naluri serba ingin tahu, konon itu sudah lumrah. Jadi, kalau
kita ingin mengetahui bagaimana seharusnya guru yang baik itu bersikap, maka
rasa ingin tahu itu wajar-wajar saja. Di tengah arus informasi global yang
mengalir deras seperti sekarang, masih mungkinkah sosok guru memberikan
keteladanan terhadap murid-muridnya ?
Bayangkan
saja, murid masa kini sudah begitu terkepung beraneka ragam informasi, apakah
itu dari media elektronik maupun media cetak.
Bagaimanapun kehadiran guru masih
tetap dibutuhkan. Sehebat dan secanggih apa pun tingkat perkembangan teknologi
informasi, namun sosok guru tidak akan pernah menghilang dari percaturan dunia
pendidikan. Penampilannya, ucapannya bahkan akhlaknya, inilah justru yang kelak
dapat melahirkan generasi kelak di kemudian hari yang bisa diandalkan. Tatap
muka antara guru dan murid tentunya akan lebih berarti ketimbang hanya
berhadapan dengan seperangkat peralatan mati.
Guru adalah panutan murid di sekolah.
Bagaimanapun sikap dan tingkah laku guru pasti membiaskan kesan yang mendalam
bagi si murid. Kendati secara tak sengaja sikap dan tingkah laku sang guru
tidak disukai murid, namun akan memberi warna pada pola tingkahnya kelak. Tidak
salah pula jika istilah guru merupakan kependekan dari ungkapan bahasa jawa, yang digugu dan ditiru.
Apapun bentuk pengetahuan yang
diberikan guru di meja pendidikan formal pasti ada yang mengingat-ingatnya,
biar cuma oleh seorang murid sekalipun. Katakanlah pengetahuan tentang
bagaimana cara berbakti kepada kedua orang tua. Mengapa begitu ? Karena pendidikan, menurut teori
Hangeveld,
hakikatnya memang harus dapat membentuk
pribadi anak menuju alam kedewasaan.
Dalam konotasi lain, guru sebagai
pelaku pendidikan. Logis, jika sasaran kegiatan guru tertuju kepada murid. Kita
sepantasnya memang harus bisa membedakan bagaimana peran seorang guru dan apa
dampak perannya terhadap murid.
Sebagai guru, seorang diharapkan
mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak. Akan tetapi, bukan berarti anak
hanya menjadi objek semata-mata yang lantas dibentuk dan dikekang. Anak justru
diharapkan menjadi subjek, walupun ada keharusan untuk mematuhi sang guru.
Khalil Gibran seorang tokoh beken
di dunia pendidikan mengatakan, “Anak-anakmu bukanlah
milikmu. Mereka adalah putra-putri kehidupan yang merindukan kehidupan pula.
Mereka hadir melalui-mu tapi bukan dari padamu. Walau mereka bersamamu, tapi
mereka bukan kepunyaanmu. Kau boleh melindungi tubuhnya, tapi jangan kekang
jiwanya karena mereka ada di hari esok yang mungkin dapat kau kunjungi walau
hanya dalam mimpi. Kau berusaha agar seperti mereka, tapi jangan menghendaki
agar mereka sama dengan kau, karena hidup tidaklah berjalan mundur, tidak pula
tinggal di hari kemarin”.
Apalah artinya guru sebagai panutan,
kalau yang dipanuti tidak tahu arah, ke mana anak harus diarahkan, sehingga
mereka tidak merasa hanya dibatasi kehendak dan jiwanya saja.
Memberikan Motivasi.
Hendaknya imbalan terhadap siswa
yang sungguh-sungguh dan berprestasi perlu dipikirkan para guru, hadiah tak
perlu besar tapi bisa bermanfaat bagi mereka. Misalnya, dengan memberikan buku
keagamaan yang menyangkut ketaqwaan kepada Tuhan.
Siswa biasanya akan senang bila
mendapat hadiah dari gurunya, apalagi bila ia mendapatkan hadiah tersebut
bertepatan dengan momen-momen penting. Misalnya, ketika ia meraih prestasi
gemilang dan menduduki ranking tertinggi di sekolahnya.
Selain sebagai hadiah, pemberian ini
bisa berdampak positif. Hubungan guru dan murid lebih erat. Tumbuh pula
perasaan saling meyayangi dan mengasihi di antara mereka. Dengan rasa saling
menyayangi, maka punalah sudah penyakit prasangka buruk atau rasa saling curiga
antara pendidik dan murid mereka, jika perasaan seperti itu memang pernah bersemi.
Andaikata seorang guru mendapat
seorang siswa yng tekun belajar, apa salahnya jika siswa diberi pujian di depan
teman-temannya. Upaya seperti ini akan mendorong siswa lain akan mengikuti
langkah siswa yang telah berhasil dan memperoleh pujian itu.
Kepribadian Guru sebagai
Tolok Ukur.
Profesi guru merupakan pekerjaan
terhormat dan dijunjung tinggi. Mereka dianggap mampu menjawab setiap persoalan
yang berkaitan dengan pendidikan, bahkan masalah lain di kalangan masyarakat.
Di wilayah pedesaan, anggapan bahwa guru adalah sosok arif yang harus
diteladani masih begitu kental. Sekali mereka berbuat salah maka hancurlah
citra baik yang disandangnya. Bila kita kaji lebih mendalam, rusaknya citra
guru bukan semata-mata disebabkan oleh diri sendiri saja, adakalanya juga
karena pengaruh lingkungan setempat. Perlakuan masyarakat terhadap mereka juga
berpengaruh. Segelincir masyarakat ada yang melecehkan guru. Mereka beranggapan
keliru tentang guru. Sebagai contoh, ada kata-kata yang terkadang menyakitkan
hati. Buat apa sih jadi guru, nggak
bakalan bisa kaya. Persis tuh seperti lagunya Iwan Fals, ‘Umar Bakri’.
Di sisi lain tidak kurang pula
sanjungan dan pujian yang diberikan kepada guru. Bila kita sering mendengarkan
lagu dan puisi, ungkapan guru sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa, barangkali
sudah tidak asing lagi. Ungkapan pujian itu bagaikan melekat di relung-relung
ruang telinga.
Tentunya para guru tidak berharap
mendapat sanjungan dan pujian, jika hanya sekedar basa-basi yang akhirnya bisa
menjurus ke arah pelecehan. Menerima sanjungan dan pujian bukanlah pekerjaan
ringan, perlu pertanggung-jawaban. Benarkah seorang guru tidak pernah
menginginkan imbalan jasa ? Kalau
jawabannya ‘Ya’, maka ia harus menjadi suri tauladan, bukan perbuatan tercela seperti
yang dipergunjingkan orang. Ada guru panenlah, guru galaklah, dan macam-macam
pergunjingan lain.
Selama ini harapan dan idealisme
masyarakat yang begitu tinggi, benar-benar mereka bebankan di pundak guru.
Masyarakat menganggap bahwa guru adalah pendidik terbaik bagi anak-anaknya. Dan
guru adalah orang terhormat dan memang selayaknya dihormati oleh masyarakat,
khususnya orang tua murid.
Persepsi demikian kadang membuat
orang tua lengah. Pendidikan anak sepenuhnya diserahkan kepada guru. Padahal,
pendidikan sebenarnya merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Ketiga mata rantai inilah yang saling menjalin.
Guru demikian awalnya, maka
keberhasilan dan kegagalan anak didik bukan hanya karena faktor guru di
sekolah, Namun, karena adanya kebersamaan langkah antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Orang tua sebagai pelaksana pendidikan keluarga di rumah merupakan
dasar bagi pengembangan kompetensi dan kepribadian anak. Anggaplah anak baru
lahir ibarat kertas putih tanpa tulisan apapun, isinya terserah orang tua.
Berarti warna dan pendidikan macam apapun bisa diberikan kepada sang anak.
Teori tabularasa John Lock mengatakan demikian.
Kebalikannya, guru sebagai pendidik
selama di lapangan banyak menghadapi keterbatasan-keterbatasan, walaupun tidak
sedikit pula kita menemukan guru profesional, yang memiliki idealisme dan
dedikasi tinggi dalam ikhwal melaksanakan tugasnya, bahkan mampu pula menepis
di saat mereka ada di lapangan.
Tipe guru professional seperti
inilah yang memiliki kepribadian dan keteladanan. Tanpa keluhan, ia mampu
mewujudkan hal-hal yang positif dan bahkan dapat memberi contoh perilaku yang
kelak dapat memberi warna pada kepribadian sang anak.
Karya
: Drs. Dedik Ekadiana