Minggu, 09 Juli 2017

KEPRIBADIAN GURU

KEPRIBADIAN GURU,  CERMIN DI MATA MURID


      Setiap manusia mempunyai naluri serba ingin tahu, konon itu sudah lumrah. Jadi, kalau kita ingin mengetahui bagaimana seharusnya guru yang baik itu bersikap, maka rasa ingin tahu itu wajar-wajar saja. Di tengah arus informasi global yang mengalir deras seperti sekarang, masih mungkinkah sosok guru memberikan keteladanan terhadap murid-muridnya ?
Bayangkan saja, murid masa kini sudah begitu terkepung beraneka ragam informasi, apakah itu dari media elektronik maupun media cetak.
            Bagaimanapun kehadiran guru masih tetap dibutuhkan. Sehebat dan secanggih apa pun tingkat perkembangan teknologi informasi, namun sosok guru tidak akan pernah menghilang dari percaturan dunia pendidikan. Penampilannya, ucapannya bahkan akhlaknya, inilah justru yang kelak dapat melahirkan generasi kelak di kemudian hari yang bisa diandalkan. Tatap muka antara guru dan murid tentunya akan lebih berarti ketimbang hanya berhadapan dengan seperangkat peralatan mati.
            Guru adalah panutan murid di sekolah. Bagaimanapun sikap dan tingkah laku guru pasti membiaskan kesan yang mendalam bagi si murid. Kendati secara tak sengaja sikap dan tingkah laku sang guru tidak disukai murid, namun akan memberi warna pada pola tingkahnya kelak. Tidak salah pula jika istilah guru merupakan kependekan dari ungkapan bahasa jawa, yang digugu dan ditiru.
            Apapun bentuk pengetahuan yang diberikan guru di meja pendidikan formal pasti ada yang mengingat-ingatnya, biar cuma oleh seorang murid sekalipun. Katakanlah pengetahuan tentang bagaimana cara berbakti kepada kedua orang tua. Mengapa begitu ?  Karena pendidikan, menurut teori Hangeveld, hakikatnya memang harus dapat membentuk pribadi anak menuju alam kedewasaan.
            Dalam konotasi lain, guru sebagai pelaku pendidikan. Logis, jika sasaran kegiatan guru tertuju kepada murid. Kita sepantasnya memang harus bisa membedakan bagaimana peran seorang guru dan apa dampak perannya terhadap murid.
            Sebagai guru, seorang diharapkan mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak. Akan tetapi, bukan berarti anak hanya menjadi objek semata-mata yang lantas dibentuk dan dikekang. Anak justru diharapkan menjadi subjek, walupun ada keharusan untuk mematuhi sang guru.
            Khalil Gibran seorang tokoh beken di dunia pendidikan mengatakan, “Anak-anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah putra-putri kehidupan yang merindukan kehidupan pula. Mereka hadir melalui-mu tapi bukan dari padamu. Walau mereka bersamamu, tapi mereka bukan kepunyaanmu. Kau boleh melindungi tubuhnya, tapi jangan kekang jiwanya karena mereka ada di hari esok yang mungkin dapat kau kunjungi walau hanya dalam mimpi. Kau berusaha agar seperti mereka, tapi jangan menghendaki agar mereka sama dengan kau, karena hidup tidaklah berjalan mundur, tidak pula tinggal di hari kemarin”.
            Apalah artinya guru sebagai panutan, kalau yang dipanuti tidak tahu arah, ke mana anak harus diarahkan, sehingga mereka tidak merasa hanya dibatasi kehendak dan jiwanya saja.

Memberikan Motivasi.
            Hendaknya imbalan terhadap siswa yang sungguh-sungguh dan berprestasi perlu dipikirkan para guru, hadiah tak perlu besar tapi bisa bermanfaat bagi mereka. Misalnya, dengan memberikan buku keagamaan yang menyangkut ketaqwaan kepada Tuhan.
            Siswa biasanya akan senang bila mendapat hadiah dari gurunya, apalagi bila ia mendapatkan hadiah tersebut bertepatan dengan momen-momen penting. Misalnya, ketika ia meraih prestasi gemilang dan menduduki ranking tertinggi di sekolahnya.
            Selain sebagai hadiah, pemberian ini bisa berdampak positif. Hubungan guru dan murid lebih erat. Tumbuh pula perasaan saling meyayangi dan mengasihi di antara mereka. Dengan rasa saling menyayangi, maka punalah sudah penyakit prasangka buruk atau rasa saling curiga antara pendidik dan murid mereka, jika perasaan seperti itu memang pernah bersemi.
            Andaikata seorang guru mendapat seorang siswa yng tekun belajar, apa salahnya jika siswa diberi pujian di depan teman-temannya. Upaya seperti ini akan mendorong siswa lain akan mengikuti langkah siswa yang telah berhasil dan memperoleh pujian itu.

Kepribadian Guru sebagai Tolok Ukur.
            Profesi guru merupakan pekerjaan terhormat dan dijunjung tinggi. Mereka dianggap mampu menjawab setiap persoalan yang berkaitan dengan pendidikan, bahkan masalah lain di kalangan masyarakat. Di wilayah pedesaan, anggapan bahwa guru adalah sosok arif yang harus diteladani masih begitu kental. Sekali mereka berbuat salah maka hancurlah citra baik yang disandangnya. Bila kita kaji lebih mendalam, rusaknya citra guru bukan semata-mata disebabkan oleh diri sendiri saja, adakalanya juga karena pengaruh lingkungan setempat. Perlakuan masyarakat terhadap mereka juga berpengaruh. Segelincir masyarakat ada yang melecehkan guru. Mereka beranggapan keliru tentang guru. Sebagai contoh, ada kata-kata yang terkadang menyakitkan hati. Buat apa sih jadi guru, nggak bakalan bisa kaya. Persis tuh seperti lagunya Iwan Fals, ‘Umar Bakri’.
            Di sisi lain tidak kurang pula sanjungan dan pujian yang diberikan kepada guru. Bila kita sering mendengarkan lagu dan puisi, ungkapan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, barangkali sudah tidak asing lagi. Ungkapan pujian itu bagaikan melekat di relung-relung ruang telinga.
            Tentunya para guru tidak berharap mendapat sanjungan dan pujian, jika hanya sekedar basa-basi yang akhirnya bisa menjurus ke arah pelecehan. Menerima sanjungan dan pujian bukanlah pekerjaan ringan, perlu pertanggung-jawaban. Benarkah seorang guru tidak pernah menginginkan imbalan jasa ?  Kalau jawabannya ‘Ya’, maka ia harus menjadi suri tauladan, bukan perbuatan tercela seperti yang dipergunjingkan orang. Ada guru panenlah, guru galaklah, dan macam-macam pergunjingan lain.
            Selama ini harapan dan idealisme masyarakat yang begitu tinggi, benar-benar mereka bebankan di pundak guru. Masyarakat menganggap bahwa guru adalah pendidik terbaik bagi anak-anaknya. Dan guru adalah orang terhormat dan memang selayaknya dihormati oleh masyarakat, khususnya orang tua murid.
            Persepsi demikian kadang membuat orang tua lengah. Pendidikan anak sepenuhnya diserahkan kepada guru. Padahal, pendidikan sebenarnya merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga mata rantai inilah yang saling menjalin.
            Guru demikian awalnya, maka keberhasilan dan kegagalan anak didik bukan hanya karena faktor guru di sekolah, Namun, karena adanya kebersamaan langkah antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Orang tua sebagai pelaksana pendidikan keluarga di rumah merupakan dasar bagi pengembangan kompetensi dan kepribadian anak. Anggaplah anak baru lahir ibarat kertas putih tanpa tulisan apapun, isinya terserah orang tua. Berarti warna dan pendidikan macam apapun bisa diberikan kepada sang anak. Teori tabularasa John Lock mengatakan demikian.
            Kebalikannya, guru sebagai pendidik selama di lapangan banyak menghadapi keterbatasan-keterbatasan, walaupun tidak sedikit pula kita menemukan guru profesional, yang memiliki idealisme dan dedikasi tinggi dalam ikhwal melaksanakan tugasnya, bahkan mampu pula menepis di saat mereka ada di lapangan.
            Tipe guru professional seperti inilah yang memiliki kepribadian dan keteladanan. Tanpa keluhan, ia mampu mewujudkan hal-hal yang positif dan bahkan dapat memberi contoh perilaku yang kelak dapat memberi warna pada kepribadian sang anak.

Karya  :  Drs. Dedik Ekadiana

PUISI : NUANSA RAMADHAN 2020

NUANSA   RAMADHAN   2020 Karya : Dedik Ekadiana Langit berpayungkan lazuardi Awan bercengkrama dan menderu Alam bertakhta tuk ...