Kamis, 27 Juli 2017

Cagar Budaya Di Selatan Jakarta


Pemerintah Republik Indonesia memiliki beberapa Istana resmi yang terletak di Pulau Jawa dan Bali, di antaranya Istana Merdeka, Istana Bogor, Istana Cipanas (Bogor) dan Istana Tampaksiring (Bali). Di antara Istana-istana itu, Istana Bogor menyimpan sejuta pesona, mengingat, istana ini berdampingan dengan objek wisata alam Kebun Raya Bogor.
Di samping itu, Istana Bogor juga merupakan cagar budaya nasional yang perlu dilestarikan keberadaannya, mengingat, bangunan tersebut merupakan warisan 3 Negara kolonial sekaligus (Belanda, Prancis dan Inggris). Artinya, istana yang lokasinya berada tepat di atas lahan pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran dahulu (menurut sebagian peneliti sejarah Pasundan) nerupakan “magic box” sejarah Indonesia kontemporer.
Dalam kaitan ini, masyarakat perlu mengetahui secara umum tentang asal-usul Istana Bogor, dari ide dasar pembangunannya hingga fungsinya di masa pasca-kemerdekaan Indonesia.
1.  Konsep Awal Pembangunan
Pada masa kolonial Belanda, Kota Jakarta yang namanya Batavia merupakan pusat pemerintahan. Bagi kebanyakan orang Belanda kota ini dirasakan terlalu panas, meskipun penduduknya belum sepadat sekarang.
Pemerintah kolonial melihat keresahan ini, lalu berusaha mencari tempat peristirahatan di luar Batavia yang memiliki hawa relatif sejuk. Gubernur JenderalGustaaf Willem Baron Van Imhoff pada tanggal 10 Agustus 1744 mengadakan perjalanan dinas ke daerah Cianjur, Jawa Barat, menemukan tempat yang menurutnya strategis sebagai tempat peristirahatan yang terletak di Bogor.
Setahun kemudian (1745), Sang Gubernur Jenderal mengeluarkan perintah untuk membangun gedung yang menjadi cikal-bakal Istana Bogor. Akan tetapi bangunan tersebut pada saat itu hanya merupakan sebuah pesanggerahan yang corak arsitekturnya ditiru dari Blanheim Palace, tempat kediaman Duke of Marlborough (nenek-moyang mendiang Lady Diana / Princess of Wales), yang terletak dekat Oxford, Inggris. Pesanggerahan tersebut kemudian diberi nama “Buitenzorg” (bebas masalah / kesulitan). Pada perkembangan selanjutnya, nama itu bukan hanya untuk bangunan tersebut, tetapi juga dipakai sebagai nama kawasan penduduk di sekitarnya.

2.  Perkembangan Fisik Bangunan
Berhubung Buitenzorg dipakai sebagai tempat beraktivitas para tokoh kolonial, iapun pernah mengalami kerusakan serius akibat gempuran pasukan Banten yang dipimpin oleh Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
Setelah gempuran Banten dapat diatasi, Sang Gubernur Jenderal pun memugar Buitenzorg dengan mempertahankan arsitekturnya semula, atas dasar saran dari Dewan Hindia Belanda, mengingat, bangunan tersebut merupakan replika dari Istana Blenheim.
Istana Buitenzorg terus mengalami perbaikan pasca-kekuasaan Gubernur Jenderal Jacob Mossel, sesuai dengan kebutuhan saat itu. Satu-satunya Gubernur Jenderal asal Prancis, Herman Willem Daendels (Tuan Besar Guntur) yang merupakan Wakil Kaisar Napoleon Bonaparte di Hindia Belanda (1808 – 1811), turut andil mendandani gedung ini dengan menambah bangunan di sayap kiri dan sayap kanan gedung utama ditingkatkan menjadi dua lantai. Daendels pula yang mendatangkan 3 pasang rusa dari perbatasan India – Nepal, sebagai penghias halaman gedung. Rusa tutul Tersebut (axis-axis species) hingga artikel ini dibuat, saat ini berjumlah 800 ekor.
Ketika Inggris berkuasa di Hindia Belanda (1811 – 1816), Leutenant Governoor General Thomas Stanford Raffles melakukan renovasi besar-besaran Istana Buitenzorg dengan membuat bagian tengah bangunan menjadi dua lantai dan menata ulang taman-tamannya menjadi model Inggris (English Style).
Gubernur Jenderal Godert Alexander GP Van Der Capellen (1817-1826) mengadakan menara lentera (Lantern-Zentrum) pada bangunan sentral. Pada masa itu pula (1817), perkebunan yang berada di sekitar istana diubah fungsi menjadi kebun percobaan untuk penelitian tumbuh-tumbuhan tropis dari dalam dan luar negeri, diresmikan sebagai “Kebun Raya” pada tanggal 18 Mei 1817. Pendirinya adalah Prof. CGC Reinwardt yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pertanian , Kerajinan dan Ilmu Pengetahuan di Hindia Belanda.
Istana Buitenzorg tamat riwayatnya ketika terjadi gempa bumi vulkanik akibat letusan gunung Krakatau di Selat Sunda pada tanggal 10 Oktober 1834. Bangunannya mengalami rusak berat dan terpaksa Pemerintah memutuskan untuk merobohkannya. Gubernur Jenderal A Jacob Duymayer Van Twist (1850) berinisiatif membangun kembali Buitenzorg Palazt dengan arsitektur Palladin dan gaya bangunan abad XIX. Istana tersebut baru terwujud secara fisik pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pahud De Montanger (1856 – 1861).
Sejak tahun 1870, Istana Buitenzorg ditetapkan sebagai kediaman resmi para gubernur jenderal Hindia Belanda.

3.  Masa Prakemerdekaan hingga Awal Kemerdekaan
Pada tanggal 1 Maret 1942, Balatentara Dai Nippon Teikoku mendarat di Batavia. Gubernur Jenderal terakhir Hindia Belanda, Tjarda Van Starkenbourg Stachouwer, menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Immamura. Istana Bogor (Buitenzorg) pada masa kolonial Jepang tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Ketika perang dunia ke II berakhir dan Jepang berada di pihak yang kalah, secara de jureSekutu berhak mengambil alih pemerintahan di daerah pendudukan Jepang. Kurang lebih 200 orang anggota BKR sempat menduduki Istana Bogor, namun tak berlangsung lama karena adanya serbuan dari pasukan Gurkha. Para relawan BKR itu pun terpaksa hengkang dari Istana Bogor. Pemerintah Republik Indonesia secara de jure baru benar-benar dapat menguasai Istana Bogor yang memiliki luas 28,8 ha tersebut pada tanggal 31 Desember 1949, sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Konferensi Meja Bundar (27 Desember 1949) di Den Haag, Negeri Belanda.

4.  Istana Bogor Sebagai Objek Historis
Pada masa kemerdekaan hingga saat ini, Istana Bogor memiliki peran yang penting dalam perjalanan historis Negara Kesatuan Republik Indonesia, di antaranya :
Pada tanggal 28 – 29 Desember 1954 menjadi tempat penyelenggaraan Konferensi Panca Negara, sebagai persiapan menuju Konferensi Asia – Afrika di Bandung (April 1955)
»    Menjadi Tempat Penataran P4 Tingkat Manggala (1978 – 1998)
»   Menjadi Tempat penyelenggaraan Jakarta Informal Meeting (JIM) pada       tahun 1986 untuk membahas   pertikaian antarfaksi di Kamboja
»    Menjadi tempat penyelenggaraan APEC Summit / AELM pada tanggal 15 November 1994
»    Menjadi tempat berdirinya Yayasan Kebun Raya Indonesia yang digagas 
 oleh Wapres Megawati Soekarno putri dan didukung oleh para duta besar 
 Negara-negara sahabat (dalam rangka Hari Puspa dan Cinta Satwa Nasional)
 pada tanggal 19  November 2000
»    Menjadi tempat penyelenggaraan acara Ladies Programme dalam kerangka acara
      G – 15 Summit pada tanggal 30 Mei 2001
Secara global, Istana Bogor terbagi menjadi 3 bagian, yang tiap bagiannya memiliki kegunaan yang berbeda, di antaranya :
1.  Gedung Induk Sayap Kiri
Mempunyai luas bangunan 325 m2 yang bisa dipergunakan sebagai tempat penginapan para tamu resmi Negara yang berpangkat Menteri
2.  Gedung Induk / Ruang Garuda / Gedung Utama
Biasa dipakai sebagai tempat penyelenggaraan acara-acara Kenegaraan, seperti Pertemuan Kenegaraan, Jamuan Makan Besar, Pertunjukan-pertunjukan Kesenian untuk menyambut Tamu Negara atau Peristiwa Penting dan Kegiatan-kegiatan Peting yang Bersifat nasional
3.  Gedung Induk Sayap Kanan
Biasa dipergunakan untuk menginap para Tamu Negara yang memangku jabatan Kepala Negara atau kepala Pemerintahan

 Karya  :  Drs. DEDIK EKADIANA
                Guru PPKn SMPN 88, Slipi – Palmerah,  Jakarta Barat

PUISI : NUANSA RAMADHAN 2020

NUANSA   RAMADHAN   2020 Karya : Dedik Ekadiana Langit berpayungkan lazuardi Awan bercengkrama dan menderu Alam bertakhta tuk ...