Perkembangan
dunia pertelevisian yang didukung oleh kecanggihan teknologi komunikasi di
Indonesia selama 30 tahun terakhir tidak bisa terhindarkan. Konsekuensi logis
terkait adanya perkembangan yang pesat itu ditandai dengan kemunculan stasiun-stasiun
televisi baru yang dikelola pihak swasta. Padahal hingga tahun 1989 Indonesia
hanya punya satu stasiun televisi yang dikelola Negara.
Keabsolutan
Negara dalam pengelolaan stasiun televisi Indonesia (TVRI), terutama pada masa
rejim orde baru (1966-1998) benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintah yang
berkuasa saat itu untuk menjadikan televisi sebagai corong pemerintah dalam
sosialisasi program pembangunan di segala bidang. Hal ini memberi kontribusi
positif apresiasi masyarakat terhadap pemerintahnya.
Institusi Negara (Departemen Penerangan)
selaku pengelola tunggal siaran televisi saat itu sangat kentara perannya terhadap
materi tayang program TVRI yang meliputi
40 % hiburan - 60 % penerangan pembangunan. Pengelolaan sedemikian selama kurun
waktu lebih dari dua dekade mendorong masyarakat pemirsa menjadi penikmat
program pembangunan di segala bidang yang diperankan pemerintah.
Sayangnya,
tayangan-tayangan keberhasilan pembangunan yang dilakukan TVRI selalu
menyelipkan suasana gemerlap kota-kota besar sebagai rolemodel pembangunan yang sukses, tanpa memperhitungkan dampak
audio visual jangka panjang terhadap para pemirsanya, Hal yang terkondisikan
seperti ini juga mengakibatkan eskalasi kecemburuan sosial yang luar biasa di
tengah masyarakat.
Kaum remaja dan dewasa muda yang merupakan
lapisan terbesar dari piramida penduduk Indonesia adalah pihak yang paling
terkena dampak audio visual
jangka
panjang tersebut. Betapa tidak? Pada dekade 1970-an hingga 1980-an di Indonesia
terjadi booming tenaga kerja yang
sangat luar biasa; mereka adalah kelompok sosial yang terlanjur termakan
program “dakwah” pembangunan olahan pemerintah dan TVRI.
Mereka
terobsesi dalam pola pikir bahwa bekerja yang sesungguhnya dan cepat mendapat
kesuksesan karir dalam waktu pendek adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil, atau
pergi mengadu nasib di kota-kota besar, terutama di ibukota Negara; karakter
ketenagakerjaan kaum muda yang terkontaminasi tayangan program pembangunan di
televisi.
Pada
tahun 1983 Indonesia mulai memasuki era globalisasi yang ditandai dengan
kemunculan model komunikasi bernama direct broadcasting service (DBS).
Di Negara-negara maju, model ini telah teraktualisasi 5-6 tahun sebelumnya.
Terjadilah pro dan kontra di tengah masyarakat. Pemerintah mengingatkan,
Indonesia, cepat atau lambat, tak akan bisa menolak kehadiran DBS; sesuai
tuntutan zaman.
Agenda DBS masuk dalam pembahasan
utama pada Konferensi Menteri-menteri Penerangan Negara-negara Nonblok (Conference of Ministers of Information of
Nonaligned Countries; COMINAC) di Jakarta yang berlangsung dari tanggal
9-11 Februari 1984. Para peserta konferensi bersepakat bahwa DBS membawa dampak
positif bagi percepatan pembangunan informasi di Negara-negara Nonblok.
Tuntutan
zaman tak bisa ditolak, yang diingatkan pemerintah pun terjadilah. Tahun 1989
Indonesia mulai memiliki stasiun televisi swasta, dikelola Bimantara Grup;
meski pun masih dalam format televisi kabel. Setahun berikutnya, stasiun televisi
swasta itu memperoleh izin pemerintah untuk bersiaran secara terbuka. Hingga
tulisan ini dibuat, Indonesia telah memiliki lebih dari 10 stasiun televisi
swasta.
Orientasi pelaksanaan siaran televisi
antara Negara dan swasta sudah pasti sangat kontroversial. Negara-ideal and development oriented, swasta-profit oriented. Orientasi Negara
melalui TVRI telah diuraikan; mengakibatkan lahirnya generasi minus wawasan
dalam urusan orientasi kerja ideal. Pertelevisian secara swakelola berdampak
lebih besar terhadap pembentukan karakter kaum muda.
Pengelolaan
stasiun televisi membutuhkan pembiayaan yang tidak murah. Suatu stasiun
televisi dianggap sukses apabila memiliki jumlah permirsa setia yang terus
meningkat dari waktu ke waktu, juga berhasil menggandeng pihak sponsor dari
perusahaan-perusahaan
besar secara berkesinambungan agar pembiayaan pengelolaan senantiasa tersedia.
Untuk
itu, pihak pengelola harus berpikir keras untuk memproduksi tayangan-tayangan
yang menarik pihak-pihak terkait. Tayangan-tayangan tersebut lebih banyak yang
bersifat komersial, termasuk live show
olah raga dari mancanegara, tanpa mempertimbangkan dampak penurunan nilai-nilai
moral permirsanya. Prinsipnya, tayangan digelar - laba pun terhampar.
Kita
semua telah mafhum bahwa jenis olah raga yang paling banyak penggemarnya di
seantero jagat adalah sepak bola. Olah raga sepak bola di benua Eropa telah
menjadi industri hiburan yang
menggiurkan, termasuk pasar taruhan yang melatarbelakanginya. Penayangan secara
langsung pertandingan sepak bola di benua Eropa oleh semua stasiun televisi di
Indonesia telah berlangsung lama.
Akan tetapi pasar taruhan yang
melatarbelakangi event tersebut,
mungkin di luar tanggung jawab pihak stasiun televisi, malah lebih marak
merangsak ke pemirsa televisi yang pada umumnya terdiri kaum muda dan remaja.
Pertumbuhan jumlah petaruh pertandingan sepak bola di kalangan remaja Indonesia
saat ini sangat boleh jadi lebih pesat daripada pemirsa pertandingannya sendiri
(belum ada penelitian yang akurat).
Image : Google
Jenis
tayangan yang satu ini saja telah berkontribusi terhadap terjadinya eskalasi
jumlah kaum hedonis dari kalangan muda dan remaja di Indonesia. Hal ini menjadi
keprihatinan bersama. Di pundak kita, para guru PKN dan Pendidik Agama,
terpikul beban untuk mengatasi keprihatinan ini. Kendati demikian, melalui
upaya yang sistematis, penulis optimis laju eskalasi ini dapat dikurangi.
Karya : Drs. Dedik Ekadiana