Minggu, 17 Juni 2018

IDUL FITRI


IDUL FITRI,  dan Tradisi Mudik

Bumi Cipondoh Asri,  Tangerang
Selama tiga hari, Jumat - Sabtu - Minggu, Jakarta benar-benar kelihatan rona muka aslinya. Bagaikan singa yang tertidur setelah sekian ratus hari keluar masuk rimba. Jakarta benar-benar kehilangan temperamen metropolitan yang keras, bising, dan melelahkan. Jakarta tidak berdinamika. Jakarta istirahat !  Hari Raya Idul Fitri, momentum paling suci bagi umat Islam yang telah membaringkan Jakarta. Jalan-jalan sepi dari angkutan perkotaan, kantor-kantor, tempat-tempat perbelanjaan pun pada tutup.
Jika demikian Jakarta memang bukan apa-apa. Tak ada yang dapat dibanggakan  dari kota terbesar di Indonesia ini. Selama tiga hari tidak nampak aktivitas ekonomi yang berarti. Barangkali saja yang terkesan adalah Jakarta yang bermandikan kesucian. Sebelumnya kesibukan dan kemacetan terjadi di mana-mana.
Memang dibanding penduduk asli Jakarta, peranan kaum urban ini sangat besar membangkitkan dan mendenyutkan nadi Jakarta. Umumnya kaum pendatang ini bergerak di berbagai sektor. Memang ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kaum pendatang mudik ke kampung halaman dan ada pula yang melihat alasan itu dengan kecurigaan yang tak bersahabat. Sampai saat ini terdapat berbagai argumen yang mencoba mencari kebenaran penyebab kaum pendatang harus mudik ke kampung. Ada yang melihat dari segi psikhologis maupun sosial. Tapi jawaban-jawaban itu bukanlah kesimpulan yang mutlak, sebab persoalan ini adalah persoalan yang personil sekali. Tetapi, mudik memang sebuah tradisi tersendiri dari Hari Raya Idul Fitri.
Idul Fitri, bagi umat Islam mempunyai kesan yang mendalam. Kesan religuisitas itulah yang penting dan elementer. Hati muslim siapa saja pasti tergetar ketika gaung takbir dan tahmid menggema dari corong-corong masjid dan surau, serta iring-iringan kendaraan. Belum lagi ketika melangsungkan sholat Id.  Allah seolah benar-benar hadir di hati kita, menyapa kita dengan senyumnya yang indah. Allahu-Akbar, Allahu-Akbar Wa lillaahil-Hamd  …………….  Ya Allah, Ya Akbar  ………… .
Meneteslah air dari sudut-sudut mata kita. Oh, hari yang bahagia, hari pengampunan. Kita biarkan hati kita berkecamuk. Kecamuk yang nikmat, dan tiada tara. Hati kita bergelombang bagaikan ombak lautan yang bergulung-gulung.
Setiap muslim pastilah punya perasaan mengulang seperti ini. Memang menjadi nostalgia religius yang tak terlupakan. Nostalgia yang selalu menyapa ketika Idul Fitri datang, bagaikan rerantingan mengetuk kaca jendela kita ketika angin datang. Siapa pun pasti ingin memaknai perasaan yang alamiah tersebut. Semua orang seolah punya keinginan untuk menjadi kanak-kanak lagi. Barangkali keindahan dan kenikmatan perasaan itu berlangsung sangat mendalam ketika di kampung, ketika masih berdekatan dengan orang tua, saudara, dan sanak famili. Perasaan religuitas yang bukan saja tatkala pas Idul Fitri, tapi juga pra Idul Fitri yang nota bene juga sepanjang bulan Ramadhan.
Mudik ke kampung bukanlah semata-mata untuk perayaan pemaafan belaka, lebih dari itu adalah upacara akbar mengulang nostalgik (perasaan indah dan sakral) tersebut.  Kendati kita tahu bahwa nostalgia tidak mungkin terulang secara fisik, tapi selalu saja kita merasa seakan berada di dunia lain, dunia yang pernah dialami dan dimiliki.
By : Dedik

PUISI : NUANSA RAMADHAN 2020

NUANSA   RAMADHAN   2020 Karya : Dedik Ekadiana Langit berpayungkan lazuardi Awan bercengkrama dan menderu Alam bertakhta tuk ...