IDUL
FITRI, dan Tradisi Mudik
Bumi Cipondoh Asri, Tangerang
Selama
tiga hari, Jumat - Sabtu - Minggu, Jakarta benar-benar kelihatan rona muka
aslinya. Bagaikan singa yang tertidur setelah sekian ratus hari keluar masuk
rimba. Jakarta benar-benar kehilangan temperamen metropolitan yang keras,
bising, dan melelahkan. Jakarta tidak berdinamika. Jakarta istirahat ! Hari Raya Idul Fitri, momentum paling suci
bagi umat Islam yang telah membaringkan Jakarta. Jalan-jalan sepi dari angkutan
perkotaan, kantor-kantor, tempat-tempat perbelanjaan pun pada tutup.
Jika
demikian Jakarta memang bukan apa-apa. Tak ada yang dapat dibanggakan dari kota terbesar di Indonesia ini. Selama
tiga hari tidak nampak aktivitas ekonomi yang berarti. Barangkali saja yang
terkesan adalah Jakarta yang bermandikan kesucian. Sebelumnya kesibukan dan
kemacetan terjadi di mana-mana.
Memang
dibanding penduduk asli Jakarta, peranan kaum urban ini sangat besar
membangkitkan dan mendenyutkan nadi Jakarta. Umumnya kaum pendatang ini bergerak
di berbagai sektor. Memang ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kaum
pendatang mudik ke kampung halaman dan ada pula yang melihat alasan itu dengan
kecurigaan yang tak bersahabat. Sampai saat ini terdapat berbagai argumen yang
mencoba mencari kebenaran penyebab kaum pendatang harus mudik ke kampung. Ada
yang melihat dari segi psikhologis maupun sosial. Tapi jawaban-jawaban itu
bukanlah kesimpulan yang mutlak, sebab persoalan ini adalah persoalan yang
personil sekali. Tetapi, mudik memang sebuah tradisi tersendiri dari Hari Raya
Idul Fitri.
Idul
Fitri, bagi umat Islam mempunyai kesan yang mendalam. Kesan religuisitas itulah
yang penting dan elementer. Hati muslim siapa saja pasti tergetar ketika gaung
takbir dan tahmid menggema dari corong-corong masjid dan surau, serta
iring-iringan kendaraan. Belum lagi ketika melangsungkan sholat Id. Allah seolah benar-benar hadir di hati kita,
menyapa kita dengan senyumnya yang indah. Allahu-Akbar, Allahu-Akbar Wa lillaahil-Hamd ……………. Ya Allah, Ya Akbar ………… .
Meneteslah
air dari sudut-sudut mata kita. Oh, hari yang bahagia, hari pengampunan. Kita
biarkan hati kita berkecamuk. Kecamuk yang nikmat, dan tiada tara. Hati kita
bergelombang bagaikan ombak lautan yang bergulung-gulung.
Setiap
muslim pastilah punya perasaan mengulang seperti ini. Memang menjadi nostalgia religius
yang tak terlupakan. Nostalgia yang selalu menyapa ketika Idul Fitri datang,
bagaikan rerantingan mengetuk kaca jendela kita ketika angin datang. Siapa pun
pasti ingin memaknai perasaan yang alamiah tersebut. Semua orang seolah punya
keinginan untuk menjadi kanak-kanak lagi. Barangkali keindahan dan kenikmatan
perasaan itu berlangsung sangat mendalam ketika di kampung, ketika masih
berdekatan dengan orang tua, saudara, dan sanak famili. Perasaan religuitas yang
bukan saja tatkala pas Idul Fitri, tapi juga pra Idul Fitri yang nota bene juga
sepanjang bulan Ramadhan.
Mudik ke kampung bukanlah semata-mata untuk
perayaan pemaafan belaka, lebih dari itu adalah upacara akbar mengulang
nostalgik (perasaan indah dan sakral) tersebut. Kendati kita tahu bahwa nostalgia tidak
mungkin terulang secara fisik, tapi selalu saja kita merasa seakan berada di
dunia lain, dunia yang pernah dialami dan dimiliki.
By : Dedik