Kabupaten
Lumajang adalah salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur yang memiliki peran
historis yang panjang dalam sejarah kenegaraan NKRI mau pun Jawa Timur itu
sendiri. Betapa tidak? Di kabupaten ini ditemukan banyak situs sejarah yang
mengacu pada penempatan Lumajang sebagai daerah yang berperan besar, setidaknya
dalam sejarah Jawa kontemporer. Uraian singkatnya dapat diterangtkan sebagai
berikut:
Image : Google
Image : Google
Kemunculan Lumajang dalam peta sejarah Jawa
kontemporer tidak serta-merta, tetapi telah dimulai sejak masa pemerintahan
Raja Kameswara dari Kerajaan Kediri (1185 - 1191 masehi). Raja yang menganut
agama Hindu sekte Waisnawa itu pada
masanya bermaksud menunaikan tindak ziarah air ke sebuah telaga yang terletak
di lereng gunung Semeru. Tindakan baginda kemudian diabadikan dalam sebuah
prasasti yang bernama prasasti Ranu Kembolo.
Akan tetapi
pada masa kerajaan Singosari (1222 - 1292 masehi) Lumajang hanya berfungsi
sebagai tempat peristirahatan para raja dan pembesar-pembesar kraton, juga
sebagai tempat ziarah dan tetirah,
mengingat di dalamnya terdapat gunung Semeru yang disakralkan oleh seluruh
masyarakat Jawa Timur. Maka Lumajang pun saat itu seolah-olah kembali tenggelam
menjadi daerah antah-berantah,
Tahun 1292
masehi, kerajaan Singosari terhapus dari peta politik Jawadwipa, akibat
pengkhi-anatan yang dilakukan oleh salah seorang keturunan kerajaan Kediri yang
bernama Jayakatwang terhadap Prabu Kertanegara, yang saat itu segenap pasukan
tempurnya dikerahkan untuk menghadapi agresi dari pasukan Kaisar Kubilai Khan
dari kerajaan Tiongkok. Kelemahan pertahanan di kraton berhasil dimanfaatkan
oleh Jayakatwang.
Pengkhianatan
itu tak berlangsung lama, sebab menantu Kertanegara yang bernama Raden Wijaya
berhasil membalaskan sakit hati raja terakhir Singosari itu, dengan
memanfaatkan kehadiran pasukan Tiongkok untuk memukul habis kekuatan
Jayakatwang, dibantu pula oleh pamannya yang bernama Aryya Wiraraja. Ia
menjanjikan pamannya untuk memberi konsesi di daerah Lamajang Tigang Juru
(Lumajang).
Raden Wijaya
akhirnya berhasil mendirikan kerajaan baru di atas puing-puing kraton
Singo-sari dengan nama kerajaan Majapahit (1294). Sementara itu, Lamajang Tigang
Juru yang diserahkannya kepada Aryya Wiararaja ditafsirkan oleh Ranggalawe
sebagai suatu isyarat pendirian kerajaan. Ia pun melancarkan pemberontakan
terhadap Raden Wijaya untuk memisahkan Lamajang Tigang Juru dari kekuasaan Majapahit,
tetapi berhasil dipadamkan.
Sepeninggal
Raden Wijaya (1309 masehi), putranya yang masih sangat belia, Kalagemet, naik
takhta. Pergolakan politik di Lamajang Tigang Juru semakin menjadi-jadi. Tak
kurang dari Lembu Sora, Nambi, Ra Kuti dan Ra Semi angkat senjata untuk membela
kehormatan Lamajang Tigang Juru. Terjadinya pemberontakan itu lebih disebabkan
oleh tindakan Ramapati yang menerapkan kebijakan politik yang salah kaprah.
Saat jabatan
Ramapati digantikan oleh Gajah Mada (1319 masehi), situasi politik di Lamajang
Tigang Juru menjadi relatif stabil. Kendati dermikian, situasi stabil itu bukan
karena kecakapan Kalagemet sebagai kepala Negara, tetapi lebih disebabkan oleh
peran Gajah Mada dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik yang menyejukkan.
Ia memang sosok patih muda usia yang memiliki dedikasi yang tinggi bagi
kejayaan Majapahit di kemudian hari.
Kalagemet
mangkat mendadak (1328 masehi), dan segera digantikan oleh adiknya yang
Tribuwanattungga Dewi. Pada masa pemerintahannya sempat terjadi pemberontakan
di Lamajang Tigang Juru yng dipimpin oleh Sadeng. Lagi, pemberontakan itu
berhasil dipadamkan oleh pasukan yang dipimpin langsung oleh Gajah Mada,
pasca-pemberontakan tersebut, Patih Ga-jah Mada melaksanakan “Amukti Palapa”.
Lamajang Tigang
Juru benar-benar menjadi daerah stabil pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk
(1350 – 1389 masehi). Beliau meneguhkan Lamajang Tigang Juru sebagai cagar
budaya dan kota wisata religi bagi para petinggi kerajaan. Selama 39 tahun masa
pemerintahan-nya, Lamajang Tigang Juru menjadi contoh bagi daerah-daerah lain
di Majapahit untuk mengem-bangkan kosa budaya daerah itu masing-masing.
Sepeninggal
Prabu Hayam Wuruk, Majapahit mengalami kemunduran yang sangat signifikan,
diawali dengan terjadinya perang Paregreg (1401 – 1405) antara pasukan kerajaan
yang saat itu dipimpin oleh Wikramawardhana (suami Bre Ayu Suhita) melawan
pasukan dari Blambangan yang dipimpin oleh Bre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk
dari selir), dan Lamajang Tigang Juru terseret dalam ajang pertikaian politik
paling berdarah di Majapahit.
Setelah perang
Paregreg, Majapahit pun secara perlahan tapi pasti tenggelam dalam haribaan
sejarah bangsa, nasib yang sama dialami oleh Lamajang Tigang Juru. Kawasan
sejuk yang terletak di kaki gunung Semeru ini pun kehilangan kontak sejarah
dengan Negara induknya, Majapahit. Kita sebagai putra-putri yang terlahir di
tanah Lamajang harus terpanggil untuk menggali sejarah daerah ini yang telah
lama tenggelam. (Drs. Dedik Ekadiana: Pemerhati
Masalah Budaya asal Lumajang, tinggal di Tangerang)