Kamis, 01 Juni 2017

DINAMIKA LUMAJANG DALAM SEJARAH JAWA KONTEMPORER


     Kabupaten Lumajang adalah salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur yang terletak di kawasan sejuk gunung Semeru. Potensi alam yang terkandung di bumi kabupaten ini cukup menjanjikan bagi peningkatan kuantitas pendapatan asli daerah Jawa Timur. Akan tetapi tak banyak orang yang mengetahui kalau di balik kesejukan alam dan potensi sumber alamnya yang besar, Kabupaten Lumajang juga memainkan peranan yang penting dalam percaturan politik kenegaraan di Jawa,  pada khususnya dalam sejarah Jawa kontemporer.
Image result for foto lumajang jaman kerajaan
Ilustrasi, Sumber : Google.com    

Nama “Lumajang” dahulunya adalah “Lamajang”. Beberapa peneliti sejarah yang menemukan beberapa prasasti di daerah Lumajang dan sekitarnya menyebutkan bahwa etimologi “Lumajang” / “Lamajang” berasal dari kata “laja” yang bermakna “lengkuas” atau “laos”, salah satu jenis umbi-umbian yang bermanfaat untuk bahan ramuan obat-obatan. Kenyataannya, di Kabupaten Lumajang hingga dewasa ini masih banyak warga yang menanam pohon laja sebagai tanaman di halaman rumah. Di samping itu, telah sejak lama warga Lumajang menyebut kata “lumaos” sebagai ucapan halus untuk daerah kelahirannya itu.
    Peran Lumajang dalam sejarah Jawa kontemporer  mulai mencuat pada masa kekuasaan Raja Kameswara dari Kerajaan Daha / Kediri. Dua prasasti yang ditemukan di Lumajang dan Kediri yakni Prasasti Ranu Kembolo dan Prasasti Semanding (setelah diterjemahkan, ditemukan angka tarikh 17 Juni 1182 dan 11 September 1185 masehi) menyebutkan bahwa Raja Kameswara yang bergelar lengkap Paduka Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama memelopori pendakian puncak Mahameru (gunung Semeru). Kepeloporan itu dalam rangka tirthayatra atau ziarah air ke sebuah telaga (di kemudian hari bernama Ranu Jambangan) yang dianggap suci, dan terletak di lereng Semeru.
    Raja yang menganut ajaran Hindu sekte Waisnawa (pemuja Dewa Wisnu) itu dalam pendakiannya mengenakan ranu kembolo (pakaian dari kulit domba). Sepanjang jalan menuju lokasi tujuannya,  baginda mendapati rakyat setempat membantunya dengan sukarela untuk mencapai maksudnya. Maka setelah beliau kembali ke kraton Kediri, Raja Kameswara mengeluarkan maklumat tentang pembebasan rakyat Lumajang dari kewajiban membayar upeti kepada raja (swatantra). Orientasi masyarakat saat itu yang masih kraton-sentris mendorong rakyat untuk berbondong-bondong melakukan tirthayatra pascaziarah yang dilakukan oleh sang raja.
    Sepeninggal Raja Kameswara, putranya yang bernama Srengga meneruskan kedaulatan kera-jaan Kediri(1191-1222 masehi). Sejarah mencatat, Srengga adalah raja terakhir di Kediri dengan gelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikiramawataranindita Srenggalanchana Digjayattung-gadewanama, atau dalam gelaran sehari-hari Gusti Prabu Kertajaya. Beliau adalah raja terakhir dari Kerajaan Kediri, sebelum akhirnya baginda gugur di tangan Ken Angrok dalam sebuah pertempuran di Ganter (1222 masehi). Kerajaan Kediri dihapus dari peta bumi oleh Ken Angrok, sekaligus menggantinya dengan Kerajaan Singosari, dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Rajasa.
    Tak banyak peninggalan tertulis tentang Lumajang pada masa kerajaan Singosari. Hanya terdapat sebuah prasasti berisi keterangan singkat tentang keadaan Lumajang pada masa awal kekuasaan Srengga (1191 masehui), yakni Prasasti Tesirejo yang ditemukan di daerah Kertosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.
    Beberapa sumber informasi singkat lainnya tentang Lumajang / Lamajang sejak zaman Kera-jaan Singosari dapat disebutkan sebagai berikut:
1.      Prasasti Mula Malurung (1255 masehi), zaman Raja Wisnuwardhana (Kerajaan Singo-sari).
2.      Naskah kitab Nagarakertagama, karya Mpu Prapanca (1365 masehi), zaman Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit).
3.      Kitab Pararaton (1450-1550 masehi).
4.      Kidung Harsa Wijaya (1450-1550 masehi).
5.      Naskah Bujangga Manik (1450-1511 masehi).
6.      Serat Babad Tanah Jawa (1700-1800 masehi), zaman Sunan Amangkurat II dari Keraja-an Mataram Islam hingga Sri Sultan Hamengkubuwono II dari Kesultanan Ngayogyokar-to Hadiningrat.
7.      Serat Kanda (zaman Kartasura, masa pemerintahan Sunan Anagkurat II hingga Sri Sultan Hamengkubuwono II.
    Peran Lumajang dalam percaturan politik di tanah Jawa kembali mencuat pada tahun 1254 masehi, saat Raja Wisnuwardhana dari Kerajaan Singosari melantik putranya, Kertanegara, menjadi wakil raja (raja muda). Kekuasaan mutlak sebagai raja baru dijabat oleh Kertanegara pada tahun 1269 masehi, beberapa bulan setelah ayahandanya mangkat (1268 masehi).
    Sosok Kertanegara digambarkan sebagai raja yang pemberani. Terbukti, beliau berani me-nolak dengan tegas ajakan keras dari Kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (Tiongkok) agar Singosari tunduk dan mengakui Tiongkok sebagai kerajaan atasannya. Di samping itu, Kerta-negara juga dikenal sebagai raja yang suka mabuk-mabukan. Akan tetapi hal yang tersebut belakangan merupakan kebiasaan yang dibolehkan dalam ajaran Budha aliran kiri (Nivertti) yang dianut oleh Kertanegara.
    Pada masa pemerintahannya, ada seorang penasehat yang menjabat “buyut” di desa Nangka, bernama Banyak Wide (di kemudian hari bernama Aryya Wiraraja). Entah karena apa, Kertanegara kurang mempercayai “buyut“ desa Nangka tersebut. Beliau akhirnya memutasi Wiraraja menjadi adhipati di Sungeneb / Sumenep, Madura Timur. Meski pun jabatan adhipati lebih tinggi hirarkinya daripada buyut, tak urung Wiraraja merasa kecewa dengan jabatan barunya tersebut. Mungkin ia merasa bahwa dengan menjabat sebagai buyut kedekatannya dengan kraton masih tetap terpelihara, karena pada kenyataannya Aryya Wiraraja merasa  masih kerabat dekat Kertanegara.
    Malapetaka menimpa Singosari pada tahun 1292 masehi, saat kraton tidak terjaga dengan aman. Saat itu Kertanegara tengah melaksanakan pesta perkawinan keempat putrinya (Dyah De-wi Tribhuwanaswari, Dyah Dewi Narendraduhita, Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Dyah Dewi Gayatri) dengan salah seorang kemenakannya yang bernama Sanggarama Wijaya (anak dari Mahisa Campaka / adik mendiang Raja Wisnuwardhana). Secara tiba-tiba kraton dikepung oleh sepasukan tentara yang dipimpin oleh seorang yang bernama Jayakatwang. Nama yang tersebut terakhir adalah cucu dari Prabu Kertajaya yang telah dikalahkan oleh Ken Angrok, 70 tahun se-belumnya.
    Sayangnya, dalam kesatuan tentara Jayakatwang membonceng pula pasukan dari Madura We-tan yang dipimpin oleh Aryya Wiraraja. Kraton dibumihanguskan, dan Kertanegara pun akhirnya gugur di tangan Jayakatwang. Sementara itu, pasukan dari Madura yang dipimpin oleh Aryya Wiraraja berhasil menyelamatkan Sanggrama Wijaya dan para mempelai wanitanya dari arena pertempuran.
    Sanggrama Wijaya tiba di tempat yang aman, diiringi para mempelai wanita, dan sisa pasukan yang masih setia kepadanya. Beberapa hari lamanya setelah peristiwa malapetaka itu, Aryya Wiraraja datang menemui Sanggrama Wijaya di tempat persembunyiannya. Ia menyarankan agar pemuda itu datang menemui Jayakatwang di kraton barunya. Wiraraja juga mengungkapkan bah-wa Jayakatwang telah memberi jaminan keamanan bagi Sanggrama Wijaya dan keluarganya me-lalui upaya diplomasi yang telah dilakukannya. 
    Saran tersebut diturutinya. Maka dalam pertemuannya dengan Jayakatwang, Sanggrama Wijaya dan keluarganya diberi pengampunan. Di samping itu,  raja Kediri Baru tersebut menganugerahinya sebidang wilayah di desa Terik yang terletak di delta sungai Brantas (beberapa bulan kemudian menjadi cikal-bakal wilayah utama Kerajaan Majapahit). Keinginan Wijaya untuk membangun kerajaan baru peng-ganti Singosari yang telah dilenyapkan oleh Jayakatwang semakin mengemuka.
    Pada sebuah pertemuan rahasia dengan Aryya Wiraraja, keinginan itu diungkapkannya dengan gamblang. Wiraraja menyatakan bahwa dirinya pasti mendukung perwujudan niat luhur dari menantu Kertanegara tersebut. Adhipati Sungeneb ini mengingatkan bahwa kekuasaan Jayakatwang takkan berlangsung lama, sebab telah lama terdengar kabar kalau Kubilai Khan tengah mengirim armada angkatan lautnya ke Singosari sebagai langkah balasan atas penghinaan mendiang Kertanegara terhadap utusan kaisar Tiongkok itu dengan cara memotong telinganya. 
    Maka muncullah ide cemerlang dari Sanggrama Wijaya buat menaklukkan Jayakatwang. Pada akhir pertemuan itu Sanggrama Wijaya berujar kepada Aryya Wiraraja, “Bapak Wiraraja, tidak sedikit hutang saya kepadamu. Apabila tercapai maksud saya, engkau akan menikmati separuh Jawadwipa, dan saya yang separuh.” Aryya Wiraraja menjawab, “Terserah Tuanku, apabila Tuanku akan menduduki tahta.” Sayangnya, ucapan tersebut tanpa disertai dengan simbol tertulis, hanya sempat disaksikan oleh salah seorang terdekat Wiraraja yakni Ranggalawe. Di kemudian hari, separuh Jawadwipa yang dimaksud oleh Sanggrama Wijaya adalah Lamajang Tigang Juru atau Lumajang.
    Pada akhirnya, Sanggrama Wijaya berhasil melaksanakan siasat hebatnya. Armada laut Kubilai Khan yang tiba di pelabuhan Tuban (1293 masehi) segera disambutnya dengan baik. Ia menyebutkan kalau dirinya juga tidak senang dengan Kertanegara (padahal yang dimaksud adalah Jayakatwang), dan bersedia bersekutu dengan pasukan Tiongkok untuk memerangi raja yang jahat itu. Pasukan Tiongkok yang tidak mengetahui sama sekali kalau Kertanegara telah mangkat menyambut baik pula ajakan Sang-grama Wijaya. Dua kesatuan pasukan tersebut dalam waktu relatif singkat berhasil menyerbu dan mengalahkan pasukan Jayakatwang, dan berhasil memenjarakan raja pemberontak  hingga ajalnya.          
    Setelah berhasil  merontokkan pasukan Jayakatwang, Sanggrama Wijaya segera memerintahkan pasukannya untuk memukul balik pasukan Tiongkok.  Pasukan yang telah kelelahan akibat menempuh pelayaran yang lama, dan memerangi pasukan tangguh Jayakatwang, tak menduga kalau akhirnya diperangi juga oleh pasukan sekutunya. Maka lebih dari separuh anggota pasukan Tiongkok tewas di medan laga yang konyol tersebut. Sisa pasukan yang kekuatannya sudah tak terkoordinir tersebut me-milih ambil langkah seribu menuju pelabuhan Tuban.
    Terbukalah peluang yang sangat lebar bagi Sanggrama Wijaya buat mendirikan kerajaan baru di atas puing Kerajaan Singosari yang telah runtuh. Kerajaan baru tersebut akhirnya diberi nama Majapahit,  dan menantu Kertanegara itu, disaksikan oleh pasukannya dan Aryya Wiraraja, menobatkan dirinya sebagai raja, dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1294 masehi). Janjinya terhadap Wiraraja pun dipenuhi. Juru nasehat yang pandai berdiplomasi itu diberinya bagian kekuasaan di Lamajang Tigang Juru, tapi dengan tingkat  jabatan adhipati.
    Persoalan janji kekuasaan di Lumajang yang telah terlanjur diucapkan oleh Sanggrama Wijaya terhadap Aryya Wiraraja berbuntut panjang, dan sempat mengakibatkan konflik politik berdarah di Negara Majapahit sejak awal pemerintahan Kertarajasa Jayawardhana (Sanggrama Wijaya) pada tahun 1295 masehi, masa pemerintahan Jayanegara / Kalagemet (1309-1328 masehi), dan masa pemerintahan Ratu Tribuwanattunggadewi (1328-1350 masehi).
    Boleh dikatakan, Aryya Wiraraja adalah Adhipati pertama di Lumajang. Akan tetapi jabatan tersebut menimbulkan ketidakpuasan di pihak orang terdekatnya, yakni Ranggalawe. Ia menginginkan Lumajang menjadi Negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Majapahit, mengingat janji Sanggrama Wijaya terhadap Aryya Wiraraja yang didengarnya dua tahun sebelumnya. Kedaulatan Majapahit di bawah pimpinan Kertarajasa Jayawardhana baru berjalan setahun (1295 masehi). Ranggalawe pun segera melancarkan pemberontakan terhadap Majapahit. Akan tetapi pasukan Negara baru tersebut dapat memadamkan api pemberontakan dalam waktu singkat, dan Ranggalawe terbunuh. Tidak ada satu prasasti pun yang ditemukan di wilayah Lumajang yang menyebutkan Aryya Wiraraja terlibat dalam aksi pemberontakan itu.
    Kertarajasa Jayawardhana mangkat dalam usia relatif muda (1309 masehi). Keempat permaisuri yang dinikahinya, hanya dua di antaranya yang melahirkan putra dan putri, yakni Dyah Dewi Tribhuwanaswari melahirkan Kalagemet, dan Dyah Dewi Gayatri melahirkan Tribhuwanattunggadewi. Tak ada pilihan lain bagi Dewan Kepatihan Majapahit selain mengangkat dan menobatkan Kalagemet yang saat itu baru berusia 14 tahun sebagai raja baru di ranah Wilwatikta. Saat naik tahta, Kalagemet bergelar Jayanegara.
    Pada usia yang masih hijau, Jayanegara dihadapkan dengan segudang masalah politik yang berat di Majapahit, dari persoalan intrik politik di lingkungan kraton hingga persoalan Lumajang pasca pemberon-takan Ranggalawe yang masih menyisakan api dalam sekam. Raja muda itu dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-harinya dibantu oleh salah seorang patih paling senior yang biasa dipanggil Gusti Ramapati.
    Rupanya sang Ramapati merupakan sosok pembesar kraton yang mengidap syndrome megalomania. Ia biarkan Jayanegara hidup tanpa permaisuri hingga akhir hayatnya. Baginya permaisuri tak penting, karena wanita hanya merupakan objek kesenangan sesaat kaum lelaki. Pendapatnya itu sangat diaminkan oleh Jayanegara yang ternyata juga sosok seorang raja yang pintar-pintar bodoh. Intrik politik terkait per-soalan Lumajang pun terus dikembangkan oleh Ramapati. Ia berpendapat, siapa pun yang menjadi adhipati di Lumajang pasti memiliki potensi untuk memberontak. Bersamaan dengan itu, Aryya Wiraraja telah tua, dan diperkirakan, tokoh penting tersebut meninggal dunia sekitar tahun 1314 masehi.
    Beberapa konflik politik berdarah di Lumajang yang terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara:
1.       Perlawanan Lembu Sora sekitar tahun 1312 masehi. Perlawanan itu berakhir dengan kekalahan di pihak Lembu Sora.
2.      Perlawanan Nambi sekitar tahun 1316 masehi. Ramapati sangat menaruh curiga terhadap Nambi setelah kematian Aryya Wiraraja. Apalagi Nambi berhasil membangun kota benteng di Pajarakan. Ramapati menganjurkan Jayanegara mengirim pasukan tempur ke Pajarakan guna membungkam kekuatan Nambi yang sudah terbangun. Alhasil, penyerbuan ke Pajarakan pun dilaksanakan. Perlawanan gigih yang diberikan oleh Nambi sekeluarga dan pasukan setianya menemui kegagalan. Adhipati Lumajang itu beserta keluarganya gugur sebagai ksatria. Peristiwa itu terkenal dengan nama “Puputan Pajarakan”.
3.      Pemberontakan Ra Kuti dan Ra Semi pada tahun 1319 masehi. Kedua pemimpin pemberontakan itu menuntut balas kematian Nambi dan keluarganya. Mereka memberi stigmasi zhalim terhadap Raja Jayanegara. Pasukan pemberontak dipersiapkan di Lumajang secara lebih terkoordinasi. Alhasil, kaum pemberontak dalam waktu singkat berhasil menduduki kraton, dan membunuh sang Ramapati si tukang fitnah. Akan tetapi Jayanegara dan keluarga besarnya berhasil diselamatkan dan dievakuasi keluar dari kraton oleh pasukan elit Bhayangkari Negara yang di-pimpin oleh seorang opsir muda usia yang bernama Mada. Opsir muda itu pula bersama pasukan yang dipimpinnya berhasil membersihkan kraton dari pendudukan kaum pemberontak. Ra Semi dan Ra Kuti pun tewas dalam serangan balasan yang dilancarkan oleh pasukan Mada. Setelah suasana kembali tenang, Jayanegara dan keluarga besarnya dikembalikan ke kraton. Baginda dalam pidato agungnya mengatakan,”Mada, jasamu terhadap Negara teramat besar. Engkau berhasil mengatasi saat-saat tersulit di kraton ini, hingga keadaan segera damai kembali. Perjuanganmu gagah perkasa laksana seekor gajah.”
    Sejak saat itu sang opsir muda menyandang nama resmi “Gajah Mada”. Jabatannya pun dinaikkan berbilang lipat menjadi Patih, menggantikan sang Ramapati yang mati konyol di tangan pemberontak. Akan tetapi Raja Jayanegara hingga akhir hayatnya (1328 masehi) belum juga memiliki permaisuri. Ide gila dari dari mendiang sang Ramapati masih tersimpan rapi dalam pikiranya. Ia ingin mempersunting Tribhuwanattunggadewi, adik perempuannya sendiri dari lain ibu, menjadi permaisurinya. Keinginannya tersebut ditentang keras oleh Patih Gajah Mada. Sang raja pun murka, ia balik menghina pribadi Gajah Mada beserta leluhurnya dengan penghinaan yang sangat menyakitkan hati. Patih Gajah Mada yang merasa sakit hati akhirnya memprovokasi tabib pribadi raja, Ra Tanca, untuk menghabisi Jayanegara. Provokasi pun sukses. Jayanegara mati tiba-tiba setelah menelan racun yang dibubuhkan di minumannya oleh Ra Tanca. Gajah Mada dengan cerdik berhasil menghilangkan jejak dengan menangkap Ra Tanca dan menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
    Jayanegara tak memiliki seorang putra pun. Peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu menyebutkan bahwa apabila seorang raja mangkat dan tak memiliki putra mahkota, maka tampuk kekua-saan dikembalikan kepada ibu suri yang memiliki anak; dalam hal ini, hanya Dyah Dewi Gayatri yang memiliki anak perempuan, Tribhuwanattunggadewi. Akan tetapi saat itu Gayatri telah menjalani hidup sebagai seorang pertapa yang menjauhi segala hal yang bersifat duniawiyah. Maka Tribhuwanattungga-dewi akhirnya ditunjuk untuk memegang tampuk kekuasaan hingga ibunya meninggal dunia.     
    Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana, hanya ada satu pemberontakan yang dilakukan oleh pihak Lumajang, yakni pemberontakan Sadeng (1333 masehi). Pemberontakan itu berhasil ditumpas oleh Patih Gajah Mada. Setahun setelah peristiwa itu, Gajah Mada mengangkat sumpah untuk menyatukan seluruh nusantara, yang terkenal dengan sebutan “Amukti Palapa”.
    Sepeninggal Gayatri (1350 masehi), Tribhuwanattunggadewi meletakkan jabatan, dan menunjuk putra tunggalnya, Hayam Wuruk yang baru berusia 16 tahun, sebagai raja baru Kerajaan Majapahit, bergelar Rajasanegara. Lumajang dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk ‘dijinakkan’ fungsinya sebagai daerah peristirahatan raja, dan objek ziarah alam bagi para petinggi Negara, yang ditandai dengan peresmian sebuah candi yang terletak di Kecamatan Senduro (sekarang) oleh Rajasanegara pada tahun 1375 masehi.
    Lumajang kembali menjadi ajang pertarungan politik pada masa pemerintahan Bhre Ayu Suhita dan suaminya, Wikramawardhana (1401-1405 masehi). Saat itu, Adhipati Blambangan, Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari salah seorang selirnya), memberontak terhadap saudara perempuannya, Bhre Ayu Suhita, untuk merebut tampuk kekuasaan. Wirabhumi menjadikan Lumajang sebagai pangkalan pasukannya. Perang saudara itu terkenal dalam sejarah sebagai “Perang Paregreg”. Upaya Wirabhumi akhirnya menemui kegagalan, setelah seorang adhipati Lumajang yang masih setia kepada sang ratu, Menak Koncar berhasil membunuhnya, dan membawa kepala sang pemberontak ke kraton.
    Sayangnya, perang paregreg mengakibatkan pengaruh Majapahit meredup secara perlahan tapi pasti dari percaturan politik di Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Lumajang pun mengalami nasib yang sama. Daerah di kawasan sejuk gunung Semeru ini tinggal dalam kenangan sejarah kebesaran Majapahit. (Drs. Dedik Ekadiana: Pemerhati Masalah Budaya asal Lumajang, tinggal di Tangerang)




   


PUISI : NUANSA RAMADHAN 2020

NUANSA   RAMADHAN   2020 Karya : Dedik Ekadiana Langit berpayungkan lazuardi Awan bercengkrama dan menderu Alam bertakhta tuk ...