Kabupaten Lumajang adalah salah satu daerah di
Provinsi Jawa Timur yang terletak di kawasan sejuk gunung Semeru. Potensi alam
yang terkandung di bumi kabupaten ini cukup menjanjikan bagi peningkatan kuantitas
pendapatan asli daerah Jawa Timur. Akan tetapi tak banyak orang yang mengetahui
kalau di balik kesejukan alam dan potensi sumber alamnya yang besar, Kabupaten
Lumajang juga memainkan peranan yang penting dalam percaturan politik
kenegaraan di Jawa, pada khususnya dalam
sejarah Jawa kontemporer.
Ilustrasi, Sumber : Google.com
Nama “Lumajang” dahulunya adalah “Lamajang”. Beberapa peneliti sejarah yang menemukan beberapa prasasti di daerah Lumajang dan sekitarnya menyebutkan bahwa etimologi “Lumajang” / “Lamajang” berasal dari kata “laja” yang bermakna “lengkuas” atau “laos”, salah satu jenis umbi-umbian yang bermanfaat untuk bahan ramuan obat-obatan. Kenyataannya, di Kabupaten Lumajang hingga dewasa ini masih banyak warga yang menanam pohon laja sebagai tanaman di halaman rumah. Di samping itu, telah sejak lama warga Lumajang menyebut kata “lumaos” sebagai ucapan halus untuk daerah kelahirannya itu.
Nama “Lumajang” dahulunya adalah “Lamajang”. Beberapa peneliti sejarah yang menemukan beberapa prasasti di daerah Lumajang dan sekitarnya menyebutkan bahwa etimologi “Lumajang” / “Lamajang” berasal dari kata “laja” yang bermakna “lengkuas” atau “laos”, salah satu jenis umbi-umbian yang bermanfaat untuk bahan ramuan obat-obatan. Kenyataannya, di Kabupaten Lumajang hingga dewasa ini masih banyak warga yang menanam pohon laja sebagai tanaman di halaman rumah. Di samping itu, telah sejak lama warga Lumajang menyebut kata “lumaos” sebagai ucapan halus untuk daerah kelahirannya itu.
Peran Lumajang dalam sejarah Jawa
kontemporer mulai mencuat pada masa
kekuasaan Raja Kameswara dari Kerajaan Daha / Kediri. Dua prasasti yang
ditemukan di Lumajang dan Kediri yakni Prasasti Ranu Kembolo dan Prasasti
Semanding (setelah diterjemahkan,
ditemukan angka tarikh 17 Juni 1182 dan 11 September 1185 masehi)
menyebutkan bahwa Raja Kameswara yang bergelar lengkap Paduka Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwaryyawiryya
Parakrama Digjayattunggadewanama memelopori pendakian puncak Mahameru
(gunung Semeru). Kepeloporan itu dalam rangka tirthayatra atau ziarah air ke sebuah telaga (di kemudian hari bernama Ranu
Jambangan) yang dianggap suci, dan terletak di lereng Semeru.
Raja yang menganut ajaran Hindu sekte Waisnawa (pemuja Dewa Wisnu) itu dalam
pendakiannya mengenakan ranu kembolo (pakaian dari kulit domba). Sepanjang
jalan menuju lokasi tujuannya, baginda
mendapati rakyat setempat membantunya dengan sukarela untuk mencapai maksudnya.
Maka setelah beliau kembali ke kraton Kediri, Raja Kameswara mengeluarkan
maklumat tentang pembebasan rakyat Lumajang dari kewajiban membayar upeti
kepada raja (swatantra). Orientasi masyarakat saat itu yang masih
kraton-sentris mendorong rakyat untuk berbondong-bondong melakukan tirthayatra pascaziarah yang dilakukan
oleh sang raja.
Sepeninggal Raja Kameswara, putranya yang
bernama Srengga meneruskan kedaulatan kera-jaan Kediri(1191-1222 masehi).
Sejarah mencatat, Srengga adalah raja terakhir di Kediri dengan gelar Sri Maharaja Sri Sarweswara
Triwikiramawataranindita Srenggalanchana Digjayattung-gadewanama, atau
dalam gelaran sehari-hari Gusti Prabu Kertajaya. Beliau adalah raja terakhir
dari Kerajaan Kediri, sebelum akhirnya baginda gugur di tangan Ken Angrok dalam
sebuah pertempuran di Ganter (1222 masehi). Kerajaan Kediri dihapus dari peta
bumi oleh Ken Angrok, sekaligus menggantinya dengan Kerajaan Singosari, dan
mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Rajasa.
Tak banyak peninggalan tertulis tentang
Lumajang pada masa kerajaan Singosari. Hanya terdapat sebuah prasasti berisi
keterangan singkat tentang keadaan Lumajang pada masa awal kekuasaan Srengga
(1191 masehui), yakni Prasasti Tesirejo yang ditemukan di daerah Kertosari,
Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.
Beberapa sumber informasi singkat lainnya
tentang Lumajang / Lamajang sejak zaman Kera-jaan Singosari dapat disebutkan
sebagai berikut:
1. Prasasti Mula Malurung
(1255 masehi), zaman Raja Wisnuwardhana (Kerajaan Singo-sari).
2. Naskah kitab Nagarakertagama,
karya Mpu Prapanca (1365 masehi), zaman Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit).
3. Kitab Pararaton
(1450-1550 masehi).
4. Kidung Harsa Wijaya
(1450-1550 masehi).
5. Naskah Bujangga Manik
(1450-1511 masehi).
6. Serat Babad Tanah Jawa
(1700-1800 masehi), zaman Sunan Amangkurat II dari Keraja-an Mataram Islam
hingga Sri Sultan Hamengkubuwono II dari Kesultanan Ngayogyokar-to Hadiningrat.
7. Serat Kanda
(zaman Kartasura, masa pemerintahan Sunan Anagkurat II hingga Sri Sultan
Hamengkubuwono II.
Peran Lumajang dalam percaturan politik di
tanah Jawa kembali mencuat pada tahun 1254 masehi, saat Raja Wisnuwardhana dari
Kerajaan Singosari melantik putranya, Kertanegara, menjadi wakil raja (raja
muda). Kekuasaan mutlak sebagai raja baru dijabat oleh Kertanegara pada tahun
1269 masehi, beberapa bulan setelah ayahandanya mangkat (1268 masehi).
Sosok Kertanegara digambarkan sebagai raja
yang pemberani. Terbukti, beliau berani me-nolak dengan tegas ajakan keras dari
Kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (Tiongkok) agar Singosari tunduk dan
mengakui Tiongkok sebagai kerajaan atasannya. Di samping itu, Kerta-negara juga
dikenal sebagai raja yang suka mabuk-mabukan. Akan tetapi hal yang tersebut
belakangan merupakan kebiasaan yang dibolehkan dalam ajaran Budha aliran kiri (Nivertti) yang dianut oleh Kertanegara.
Pada masa pemerintahannya, ada seorang
penasehat yang menjabat “buyut” di desa Nangka, bernama Banyak Wide (di
kemudian hari bernama Aryya Wiraraja). Entah karena apa, Kertanegara kurang
mempercayai “buyut“ desa Nangka tersebut. Beliau akhirnya memutasi Wiraraja
menjadi adhipati di Sungeneb / Sumenep, Madura Timur. Meski pun jabatan
adhipati lebih tinggi hirarkinya daripada buyut, tak urung Wiraraja merasa
kecewa dengan jabatan barunya tersebut. Mungkin ia merasa bahwa dengan menjabat
sebagai buyut kedekatannya dengan kraton masih tetap terpelihara, karena pada
kenyataannya Aryya Wiraraja merasa masih
kerabat dekat Kertanegara.
Malapetaka
menimpa Singosari pada tahun 1292 masehi, saat kraton tidak terjaga dengan
aman. Saat itu Kertanegara tengah melaksanakan pesta perkawinan keempat
putrinya (Dyah De-wi Tribhuwanaswari,
Dyah Dewi Narendraduhita, Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Dyah Dewi Gayatri) dengan salah seorang kemenakannya yang bernama
Sanggarama Wijaya (anak dari Mahisa Campaka / adik mendiang Raja
Wisnuwardhana). Secara tiba-tiba kraton dikepung oleh sepasukan tentara yang
dipimpin oleh seorang yang bernama Jayakatwang. Nama yang tersebut terakhir
adalah cucu dari Prabu Kertajaya yang telah dikalahkan oleh Ken Angrok, 70
tahun se-belumnya.
Sayangnya, dalam kesatuan tentara
Jayakatwang membonceng pula pasukan dari Madura We-tan yang dipimpin oleh Aryya
Wiraraja. Kraton dibumihanguskan, dan Kertanegara pun akhirnya gugur di tangan
Jayakatwang. Sementara itu, pasukan dari Madura yang dipimpin oleh Aryya
Wiraraja berhasil menyelamatkan Sanggrama Wijaya dan para mempelai wanitanya
dari arena pertempuran.
Sanggrama Wijaya tiba di tempat yang aman,
diiringi para mempelai wanita, dan sisa pasukan yang masih setia kepadanya.
Beberapa hari lamanya setelah peristiwa malapetaka itu, Aryya Wiraraja datang
menemui Sanggrama Wijaya di tempat persembunyiannya. Ia menyarankan agar pemuda
itu datang menemui Jayakatwang di kraton barunya. Wiraraja juga mengungkapkan
bah-wa Jayakatwang telah memberi jaminan keamanan bagi Sanggrama Wijaya dan
keluarganya me-lalui upaya diplomasi yang telah dilakukannya.
Saran tersebut diturutinya. Maka dalam
pertemuannya dengan Jayakatwang, Sanggrama Wijaya dan keluarganya diberi
pengampunan. Di samping itu, raja Kediri
Baru tersebut menganugerahinya sebidang wilayah di desa Terik yang terletak di
delta sungai Brantas (beberapa bulan
kemudian menjadi cikal-bakal wilayah utama Kerajaan Majapahit). Keinginan
Wijaya untuk membangun kerajaan baru peng-ganti Singosari yang telah
dilenyapkan oleh Jayakatwang semakin mengemuka.
Pada sebuah pertemuan rahasia dengan Aryya
Wiraraja, keinginan itu diungkapkannya dengan gamblang. Wiraraja menyatakan
bahwa dirinya pasti mendukung perwujudan niat luhur dari menantu Kertanegara
tersebut. Adhipati Sungeneb ini mengingatkan bahwa kekuasaan Jayakatwang takkan
berlangsung lama, sebab telah lama terdengar kabar kalau Kubilai Khan tengah
mengirim armada angkatan lautnya ke Singosari sebagai langkah balasan atas
penghinaan mendiang Kertanegara terhadap utusan kaisar Tiongkok itu dengan cara
memotong telinganya.
Maka muncullah ide cemerlang dari Sanggrama
Wijaya buat menaklukkan Jayakatwang. Pada akhir pertemuan itu Sanggrama Wijaya
berujar kepada Aryya Wiraraja, “Bapak
Wiraraja, tidak sedikit hutang saya kepadamu. Apabila tercapai maksud saya,
engkau akan menikmati separuh Jawadwipa, dan saya yang separuh.” Aryya Wiraraja
menjawab, “Terserah Tuanku, apabila
Tuanku akan menduduki tahta.” Sayangnya, ucapan tersebut tanpa disertai
dengan simbol tertulis, hanya sempat disaksikan oleh salah seorang terdekat
Wiraraja yakni Ranggalawe. Di kemudian hari, separuh Jawadwipa yang dimaksud
oleh Sanggrama Wijaya adalah Lamajang Tigang Juru atau Lumajang.
Pada akhirnya, Sanggrama Wijaya berhasil
melaksanakan siasat hebatnya. Armada laut Kubilai Khan yang tiba di pelabuhan
Tuban (1293 masehi) segera disambutnya dengan baik. Ia menyebutkan kalau
dirinya juga tidak senang dengan Kertanegara (padahal yang dimaksud adalah Jayakatwang), dan bersedia bersekutu
dengan pasukan Tiongkok untuk memerangi raja yang jahat itu. Pasukan Tiongkok
yang tidak mengetahui sama sekali kalau Kertanegara telah mangkat menyambut
baik pula ajakan Sang-grama Wijaya. Dua kesatuan pasukan tersebut dalam waktu
relatif singkat berhasil menyerbu dan mengalahkan pasukan Jayakatwang, dan
berhasil memenjarakan raja pemberontak
hingga ajalnya.
Setelah berhasil merontokkan pasukan Jayakatwang, Sanggrama
Wijaya segera memerintahkan pasukannya untuk memukul balik pasukan
Tiongkok. Pasukan yang telah kelelahan
akibat menempuh pelayaran yang lama, dan memerangi pasukan tangguh Jayakatwang,
tak menduga kalau akhirnya diperangi juga oleh pasukan sekutunya. Maka lebih
dari separuh anggota pasukan Tiongkok tewas di medan laga yang konyol tersebut.
Sisa pasukan yang kekuatannya sudah tak terkoordinir tersebut me-milih ambil
langkah seribu menuju pelabuhan Tuban.
Terbukalah peluang yang sangat lebar bagi
Sanggrama Wijaya buat mendirikan kerajaan baru di atas puing Kerajaan Singosari
yang telah runtuh. Kerajaan baru tersebut akhirnya diberi nama Majapahit, dan menantu Kertanegara itu, disaksikan oleh
pasukannya dan Aryya Wiraraja, menobatkan dirinya sebagai raja, dengan gelar
Kertarajasa Jayawardhana (1294 masehi). Janjinya terhadap Wiraraja pun
dipenuhi. Juru nasehat yang pandai berdiplomasi itu diberinya bagian kekuasaan
di Lamajang Tigang Juru, tapi dengan tingkat
jabatan adhipati.
Persoalan janji kekuasaan di Lumajang yang
telah terlanjur diucapkan oleh Sanggrama Wijaya terhadap Aryya Wiraraja
berbuntut panjang, dan sempat mengakibatkan konflik politik berdarah di Negara
Majapahit sejak awal pemerintahan Kertarajasa
Jayawardhana (Sanggrama Wijaya) pada tahun 1295 masehi, masa pemerintahan Jayanegara / Kalagemet (1309-1328
masehi), dan masa pemerintahan Ratu
Tribuwanattunggadewi (1328-1350 masehi).
Boleh dikatakan, Aryya Wiraraja adalah
Adhipati pertama di Lumajang. Akan tetapi jabatan tersebut menimbulkan
ketidakpuasan di pihak orang terdekatnya, yakni Ranggalawe. Ia menginginkan
Lumajang menjadi Negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Majapahit, mengingat
janji Sanggrama Wijaya terhadap Aryya Wiraraja yang didengarnya dua tahun
sebelumnya. Kedaulatan Majapahit di bawah pimpinan Kertarajasa Jayawardhana
baru berjalan setahun (1295 masehi). Ranggalawe pun segera melancarkan
pemberontakan terhadap Majapahit. Akan tetapi pasukan Negara baru tersebut
dapat memadamkan api pemberontakan dalam waktu singkat, dan Ranggalawe
terbunuh. Tidak ada satu prasasti pun yang ditemukan di wilayah Lumajang yang
menyebutkan Aryya Wiraraja terlibat dalam aksi pemberontakan itu.
Kertarajasa Jayawardhana mangkat dalam usia
relatif muda (1309 masehi). Keempat permaisuri yang dinikahinya, hanya dua di
antaranya yang melahirkan putra dan putri, yakni Dyah Dewi Tribhuwanaswari
melahirkan Kalagemet, dan Dyah Dewi Gayatri melahirkan Tribhuwanattunggadewi.
Tak ada pilihan lain bagi Dewan Kepatihan Majapahit selain mengangkat dan
menobatkan Kalagemet yang saat itu baru berusia 14 tahun sebagai raja baru di
ranah Wilwatikta. Saat naik tahta, Kalagemet bergelar Jayanegara.
Pada usia yang masih hijau, Jayanegara
dihadapkan dengan segudang masalah politik yang berat di Majapahit, dari
persoalan intrik politik di lingkungan kraton hingga persoalan Lumajang pasca
pemberon-takan Ranggalawe yang masih menyisakan api dalam sekam. Raja muda itu
dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-harinya dibantu oleh salah seorang
patih paling senior yang biasa dipanggil Gusti Ramapati.
Rupanya sang Ramapati merupakan sosok
pembesar kraton yang mengidap syndrome
megalomania. Ia biarkan Jayanegara hidup tanpa permaisuri hingga akhir hayatnya.
Baginya permaisuri tak penting, karena wanita hanya merupakan objek kesenangan
sesaat kaum lelaki. Pendapatnya itu sangat diaminkan oleh Jayanegara yang
ternyata juga sosok seorang raja yang pintar-pintar bodoh. Intrik politik
terkait per-soalan Lumajang pun terus dikembangkan oleh Ramapati. Ia
berpendapat, siapa pun yang menjadi adhipati di Lumajang pasti memiliki potensi
untuk memberontak. Bersamaan dengan itu, Aryya Wiraraja telah tua, dan
diperkirakan, tokoh penting tersebut meninggal dunia sekitar tahun 1314 masehi.
Beberapa konflik politik berdarah di
Lumajang yang terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara:
1.
Perlawanan Lembu Sora sekitar tahun 1312
masehi. Perlawanan itu berakhir dengan kekalahan di pihak Lembu Sora.
2.
Perlawanan
Nambi sekitar tahun 1316 masehi. Ramapati sangat menaruh curiga terhadap Nambi
setelah kematian Aryya Wiraraja. Apalagi Nambi berhasil membangun kota benteng
di Pajarakan. Ramapati menganjurkan Jayanegara mengirim pasukan tempur ke
Pajarakan guna membungkam kekuatan Nambi yang sudah terbangun. Alhasil,
penyerbuan ke Pajarakan pun dilaksanakan. Perlawanan gigih yang diberikan oleh
Nambi sekeluarga dan pasukan setianya menemui kegagalan. Adhipati Lumajang itu
beserta keluarganya gugur sebagai ksatria. Peristiwa itu terkenal dengan nama
“Puputan Pajarakan”.
3.
Pemberontakan
Ra Kuti dan Ra Semi pada tahun 1319 masehi. Kedua pemimpin pemberontakan itu
menuntut balas kematian Nambi dan keluarganya. Mereka memberi stigmasi zhalim
terhadap Raja Jayanegara. Pasukan pemberontak dipersiapkan di Lumajang secara
lebih terkoordinasi. Alhasil, kaum pemberontak dalam waktu singkat berhasil
menduduki kraton, dan membunuh sang Ramapati si tukang fitnah. Akan tetapi
Jayanegara dan keluarga besarnya berhasil diselamatkan dan dievakuasi keluar
dari kraton oleh pasukan elit Bhayangkari Negara yang di-pimpin oleh seorang
opsir muda usia yang bernama Mada. Opsir muda itu pula bersama pasukan yang
dipimpinnya berhasil membersihkan kraton dari pendudukan kaum pemberontak. Ra
Semi dan Ra Kuti pun tewas dalam serangan balasan yang dilancarkan oleh pasukan
Mada. Setelah suasana kembali tenang, Jayanegara dan keluarga besarnya
dikembalikan ke kraton. Baginda dalam pidato agungnya mengatakan,”Mada, jasamu terhadap Negara teramat besar.
Engkau berhasil mengatasi saat-saat tersulit di kraton ini, hingga keadaan
segera damai kembali. Perjuanganmu gagah perkasa laksana seekor gajah.”
Sejak saat itu sang opsir muda menyandang
nama resmi “Gajah Mada”. Jabatannya pun dinaikkan berbilang lipat menjadi
Patih, menggantikan sang Ramapati yang mati konyol di tangan pemberontak. Akan
tetapi Raja Jayanegara hingga akhir hayatnya (1328 masehi) belum juga memiliki
permaisuri. Ide gila dari dari mendiang sang Ramapati masih tersimpan rapi
dalam pikiranya. Ia ingin mempersunting Tribhuwanattunggadewi, adik
perempuannya sendiri dari lain ibu, menjadi permaisurinya. Keinginannya
tersebut ditentang keras oleh Patih Gajah Mada. Sang raja pun murka, ia balik
menghina pribadi Gajah Mada beserta leluhurnya dengan penghinaan yang sangat
menyakitkan hati. Patih Gajah Mada yang merasa sakit hati akhirnya memprovokasi
tabib pribadi raja, Ra Tanca, untuk menghabisi Jayanegara. Provokasi pun
sukses. Jayanegara mati tiba-tiba setelah menelan racun yang dibubuhkan di
minumannya oleh Ra Tanca. Gajah Mada dengan cerdik berhasil menghilangkan jejak
dengan menangkap Ra Tanca dan menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Jayanegara tak memiliki seorang putra pun.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu menyebutkan bahwa
apabila seorang raja mangkat dan tak memiliki putra mahkota, maka tampuk
kekua-saan dikembalikan kepada ibu suri yang memiliki anak; dalam hal ini,
hanya Dyah Dewi Gayatri yang memiliki anak perempuan, Tribhuwanattunggadewi.
Akan tetapi saat itu Gayatri telah menjalani hidup sebagai seorang pertapa yang
menjauhi segala hal yang bersifat duniawiyah. Maka Tribhuwanattungga-dewi
akhirnya ditunjuk untuk memegang tampuk kekuasaan hingga ibunya meninggal
dunia.
Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana,
hanya ada satu pemberontakan yang dilakukan oleh pihak Lumajang, yakni
pemberontakan Sadeng (1333 masehi). Pemberontakan itu berhasil ditumpas oleh
Patih Gajah Mada. Setahun setelah peristiwa itu, Gajah Mada mengangkat sumpah
untuk menyatukan seluruh nusantara, yang terkenal dengan sebutan “Amukti
Palapa”.
Sepeninggal Gayatri (1350 masehi),
Tribhuwanattunggadewi meletakkan jabatan, dan menunjuk putra tunggalnya, Hayam
Wuruk yang baru berusia 16 tahun, sebagai raja baru Kerajaan Majapahit,
bergelar Rajasanegara. Lumajang dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk
‘dijinakkan’ fungsinya sebagai daerah peristirahatan raja, dan objek ziarah
alam bagi para petinggi Negara, yang ditandai dengan peresmian sebuah candi
yang terletak di Kecamatan Senduro (sekarang) oleh Rajasanegara pada tahun 1375
masehi.
Lumajang kembali menjadi ajang pertarungan
politik pada masa pemerintahan Bhre Ayu Suhita dan suaminya, Wikramawardhana (1401-1405
masehi). Saat itu, Adhipati Blambangan, Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari
salah seorang selirnya), memberontak terhadap saudara perempuannya, Bhre Ayu
Suhita, untuk merebut tampuk kekuasaan. Wirabhumi menjadikan Lumajang sebagai
pangkalan pasukannya. Perang saudara itu terkenal dalam sejarah sebagai “Perang
Paregreg”. Upaya Wirabhumi akhirnya menemui kegagalan, setelah seorang adhipati
Lumajang yang masih setia kepada sang ratu, Menak Koncar berhasil membunuhnya,
dan membawa kepala sang pemberontak ke kraton.
Sayangnya, perang paregreg mengakibatkan
pengaruh Majapahit meredup secara perlahan tapi pasti dari percaturan politik
di Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Lumajang pun mengalami nasib yang
sama. Daerah di kawasan sejuk gunung Semeru ini tinggal dalam kenangan sejarah
kebesaran Majapahit. (Drs. Dedik Ekadiana: Pemerhati Masalah Budaya asal Lumajang,
tinggal di Tangerang)