PENTINGNYA
PENGEMBANGAN WAWASAN IMPLEMENTASI
MEDIA
SOSIAL
Oleh : Drs. Dedik Ekadiana
Era reformasi di Indonesia telah berjalan selama 20 tahun. Seiring
bergulirnya waktu hingga memasuki era milenium III dunia informasi global
mengalami revolusi yang luar biasa, ditandai terjadinya eskalasi penggunaan
internet dengan segala aplikasinya oleh masyarakat di seluruh dunia. Persentase
kuantitas terbesar dari masyarakat pengguna internet adalah kanak-kanak dan
kaum remaja yang rata-rata masih dalam status pelajar sekolah dasar dan
menengah.
Di era 1980-an, situasi semacam ini baru berupa wacana bertajuk “era
globalisasi”. Pada saat itu, pemerintah pusat cq Departemen Penerangan
(sekarang Kemkominfo) berkali-kali mewanti-wanti masyarakat agar bersiap-siap
menghadapi era globalisasi yang bakal merebak ke Indonesia tanpa bisa dicegah.
Era seperti itu digambarkan oleh menteri penerangan saat itu, Harmoko, sebagai
era di mana jarak antarnegara menjadi sangat dekat, infiltrasi budaya asing
merangsak hingga kamar tidur.
Pesan-pesan yang acapkali disampaikan pemerintah tersebut melalui
corongnya, RRI dan TVRI, tidak terlalu mendapat sambutan yang meriah di
masyarakat luas, hanya masyarakat sekolah dan kampus bisa menyerap pesan ini
secara baik dan sistematis. Sementara itu, topan globalisasi terus berembus
dari Negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, menuju
Negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia hingga memasuki dekade kedua
1990-an.
Untuk Indonesia, era globalisasi ditandai dengan
kemunculan penggunaan antena parabola (keperluan live broadcasting berbasis internet), dan pembukaan jaringan
televisi kabel (RCTI) pada tahun 1989, disusul tren penggunaan telepon seluler
di awal dekade 1990-an. Meskipun peralatan yang dipakai untuk keperluan
komunikasi sosial bercorak globalisasi tersebut berbiaya cukup mahal (untuk
ukuran saat itu), tak urung masyarakat Indonesia telah cukup banyak mempergunakannya.
Boleh dikatakan, pengaruh globalisasi begitu besar terhadap penguatan
atau pelemahan ketahanan nasional suatu bangsa, bahkan ketahanan kepercayaan
masyarakat terhadap administrasi yang menata kehidupan dan penghidupannya.
Contoh kecilnya, keruntuhan rejim orde baru pada tanggal 21 Mei 1998 bukan
karena krisis moneter yang membelitnya, tetapi karena masyarakat Indonesia
telah dengan mudah melihat rejim penguasa di Negaranya yang tengah sekarat
akibat krisis tersebut.
Era globalisasi di Indonesia semakin menguat pengaruhnya pasca-rejim
orde baru. Memasuki tahun 2000 (akhir milenium II), penggunaan telepon seluler
semakin melebar skala sosialnya. Dengan kata lain, pada dekade sebelumnya
penggunaan telepon seluler di Indonesia hanya sebatas kalangan pebisnis dan
pengusaha menengah serta pejabat Negara, memasuki akhir milenium II kalangan
pelajar pun menggunakannya, terutama setelah adanya fasilitas short message service (SMS) pada telepon
seluler.
Kurun waktu lima belas tahun terakhir, telepon seluler bukan lagi
sekedar alat komunikasi lisan dan pesan singkat, namun telah berevolusi menjadi
alat untuk memiliki media sosial paling praktis bagi setiap individu
masyarakat, dengan slogan “the world in
your hand” (dunia di tangan anda). Raksasa penyedia kecanggihan telepon
seluler seperti Android, Microsoft,
Apple, dan Blackberry (iOS)
berperan penting dalam mempersempit jarak di jagat dunia maya.
Persoalan yang paling krusial dalam hal ini adalah, spesifikasi
kecanggihan teknologi komunikasi mendorong terjadinya peningkatan kuantitas
pengguna telepon seluler sebagai alat media sosial di kalangan anak-anak dan
remaja yang kebanyakan berstatus pelajar sekolah dasar dan menengah. Kalangan
yang tersebut terakhir ini adalah generasi yang tengah bertumbuh wawasan
berpikir, berperasaan dan bertindak.
Dengan media sosial di tangan mereka,
apakah tidak menutup kemungkinan mereka menjadi sasaran empuk dari aliran
berita dan informasi menyesatkan dari sumber-sumber yang tidak jelas, sehingga
mereka tanpa bisa dicegah tumbuh menjadi konsumen berita serta informasi yang
tidak higienis bagi perkembangan nalar mereka yang berstatus pelajar tersebut? Persoalan
ini menjadi pekerjaan rumah yang rumit buat kalangan pengajar dan pendidik,
termasuk institusi pendidikan yang menaunginya.
Secara konstitusional, jiwa dari sistem
pendidikan di Indonesia tertuang dalam UUD 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, dan
paradigma dari upaya pengembangan wawasan implementasi media sosial yang sehat
buat para siswa tertuang dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 UURI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selengkapnya pasal 1 ayat 1 dan 2
Undang-Undang Sisdiknas itu menyebutkan :
1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belaja dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
Bangsa, dan negara.
2.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman
Pada
prinsipnya penyelesaian pekerjaan rumah yang dimaksud tidak menjadi rumit,
dikarenakan paradigma pendidikan nasional telah ditetapkan secara
konstitusional. Institusi pendidikan tinggal menetapkan perangkat keras dan
perangkat lunaknya dalam rangka penyelesaikan tugas mulia ini hingga mencapai
sasarannya secara tepat guna dan optimal. Sementara itu, laju pertumbuhan
pengguna media sosial di kalangan pelajar berlangsung cepat tanpa bisa
dibendung.
Sudah saatnya item kokurikuler pendidikan di sekolah perlu ditambah,
berupa item “Pendidikan Budaya Implementasi Media Sosial (PBIMS)”. Item ini
merupakan perangkat keras bagi pengembangan wawasan implementasi media sosial
di kalangan pelajar, dan bisa diterapkan di level pendidikan dasar hingga
menengah dan menengah kejuruan. Penambahan item pendidikan kokurikuler ini pun
diharapkan dapat mempertebal ketahanan siswa secara mental dan ideologis.
Di samping itu, perangkat lunak yang dibutuhkan untuk mempermudah
penyelesaian tugas mulia ini bisa diambil dari referensi para pakar komunikasi,
khususnya pakar komunikasi media sosial (dalam
kaitan ini, Indonesia memiliki pakar komunikasi media sosial dalam jumlah yang
banyak), terutama para pakar komunikasi berbasis kampus, dan di kementerian
komunikasi dan informasi. Mereka adalah penyedia perangkat lunak yang siap
pakai dalam proses belajar di bidang PBIMS.
Mungkin timbul pertanyaan, apakah ide pemunculan item PBIMS sama
statusnya seperti PMP dan PSPB di era orde baru dulu? Jawabannya pasti, tidak
sama sekali. Kemunculan PMP dan PSPB disebabkan oleh adanya kehendak politik thinktank rejim orde baru agar
eksistensi rejim semakin konsolidatif,
menggiring publik pelajar Indonesia sampai pada sikap monoloyalitas tanpa reserve terhadap rejim penguasa saat
itu.
Sementara itu, ide pemunculan PBIMS sifatnya lintas rejim karena
menyangkut adanya keinginan pelaksana pendidikan untuk mencegah anak didik
terseret dalam ganasnya arus globalisasi. Oleh karena itu, meskipun rejim baru
berganti seribu tahun lagi, tidak akan memberikan dampak positif apa pun
terhadap kaum pelajar yang terseret arus globalisasi. Pemunculan PBIMS secara
dini malah dapat menjadi sumbangsih sejarah yang putih bagi rejim saat ini.
Kini kita tinggal menunggu good will dan political will dari autoritas pendidikan tertinggi di Negara ini
untuk mempercepat pemunculan item PBIMS dalam rangka mencegah anak didik dari
kerancuan berpikir akibat penyerapan informasi keliru dunia maya.