Selasa, 15 Mei 2018

WAWASAN MEDIA SOSIAL


PENTINGNYA PENGEMBANGAN WAWASAN IMPLEMENTASI
MEDIA SOSIAL
Oleh : Drs. Dedik Ekadiana
    Era reformasi di Indonesia telah berjalan selama 20 tahun. Seiring bergulirnya waktu hingga memasuki era milenium III dunia informasi global mengalami revolusi yang luar biasa, ditandai terjadinya eskalasi penggunaan internet dengan segala aplikasinya oleh masyarakat di seluruh dunia. Persentase kuantitas terbesar dari masyarakat pengguna internet adalah kanak-kanak dan kaum remaja yang rata-rata masih dalam status pelajar sekolah dasar dan menengah.
    Di era 1980-an, situasi semacam ini baru berupa wacana bertajuk “era globalisasi”. Pada saat itu, pemerintah pusat cq Departemen Penerangan (sekarang Kemkominfo) berkali-kali mewanti-wanti masyarakat agar bersiap-siap menghadapi era globalisasi yang bakal merebak ke Indonesia tanpa bisa dicegah. Era seperti itu digambarkan oleh menteri penerangan saat itu, Harmoko, sebagai era di mana jarak antarnegara menjadi sangat dekat, infiltrasi budaya asing merangsak hingga kamar tidur.
    Pesan-pesan yang acapkali disampaikan pemerintah tersebut melalui corongnya, RRI dan TVRI, tidak terlalu mendapat sambutan yang meriah di masyarakat luas, hanya masyarakat sekolah dan kampus bisa menyerap pesan ini secara baik dan sistematis. Sementara itu, topan globalisasi terus berembus dari Negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, menuju Negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia hingga memasuki dekade kedua 1990-an.
    Untuk Indonesia, era globalisasi ditandai dengan kemunculan penggunaan antena parabola (keperluan live broadcasting berbasis internet), dan pembukaan jaringan televisi kabel (RCTI) pada tahun 1989, disusul tren penggunaan telepon seluler di awal dekade 1990-an. Meskipun peralatan yang dipakai untuk keperluan komunikasi sosial bercorak globalisasi tersebut berbiaya cukup mahal (untuk ukuran saat itu), tak urung masyarakat Indonesia telah cukup banyak mempergunakannya.
      Boleh dikatakan, pengaruh globalisasi begitu besar terhadap penguatan atau pelemahan ketahanan nasional suatu bangsa, bahkan ketahanan kepercayaan masyarakat terhadap administrasi yang menata kehidupan dan penghidupannya. Contoh kecilnya, keruntuhan rejim orde baru pada tanggal 21 Mei 1998 bukan karena krisis moneter yang membelitnya, tetapi karena masyarakat Indonesia telah dengan mudah melihat rejim penguasa di Negaranya yang tengah sekarat akibat krisis tersebut.
    Era globalisasi di Indonesia semakin menguat pengaruhnya pasca-rejim orde baru. Memasuki tahun 2000 (akhir milenium II), penggunaan telepon seluler semakin melebar skala sosialnya. Dengan kata lain, pada dekade sebelumnya penggunaan telepon seluler di Indonesia hanya sebatas kalangan pebisnis dan pengusaha menengah serta pejabat Negara, memasuki akhir milenium II kalangan pelajar pun menggunakannya, terutama setelah adanya fasilitas short message service (SMS) pada telepon seluler.
    Kurun waktu lima belas tahun terakhir, telepon seluler bukan lagi sekedar alat komunikasi lisan dan pesan singkat, namun telah berevolusi menjadi alat untuk memiliki media sosial paling praktis bagi setiap individu masyarakat, dengan slogan “the world in your hand” (dunia di tangan anda). Raksasa penyedia kecanggihan telepon seluler seperti Android, Microsoft, Apple, dan Blackberry (iOS) berperan penting dalam mempersempit jarak di jagat dunia maya.
    Persoalan yang paling krusial dalam hal ini adalah, spesifikasi kecanggihan teknologi komunikasi mendorong terjadinya peningkatan kuantitas pengguna telepon seluler sebagai alat media sosial di kalangan anak-anak dan remaja yang kebanyakan berstatus pelajar sekolah dasar dan menengah. Kalangan yang tersebut terakhir ini adalah generasi yang tengah bertumbuh wawasan berpikir, berperasaan dan bertindak.
     Dengan media sosial di tangan mereka, apakah tidak menutup kemungkinan mereka menjadi sasaran empuk dari aliran berita dan informasi menyesatkan dari sumber-sumber yang tidak jelas, sehingga mereka tanpa bisa dicegah tumbuh menjadi konsumen berita serta informasi yang tidak higienis bagi perkembangan nalar mereka yang berstatus pelajar tersebut? Persoalan ini menjadi pekerjaan rumah yang rumit buat kalangan pengajar dan pendidik, termasuk institusi pendidikan yang menaunginya.
     Secara konstitusional, jiwa dari sistem pendidikan di Indonesia tertuang dalam UUD 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, dan paradigma dari upaya pengembangan wawasan implementasi media sosial yang sehat buat para siswa tertuang dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 UURI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selengkapnya pasal 1 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Sisdiknas itu menyebutkan     :
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan    suasana belaja dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
     Bangsa, dan negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman

    Pada prinsipnya penyelesaian pekerjaan rumah yang dimaksud tidak menjadi rumit, dikarenakan paradigma pendidikan nasional telah ditetapkan secara konstitusional. Institusi pendidikan tinggal menetapkan perangkat keras dan perangkat lunaknya dalam rangka penyelesaikan tugas mulia ini hingga mencapai sasarannya secara tepat guna dan optimal. Sementara itu, laju pertumbuhan pengguna media sosial di kalangan pelajar berlangsung cepat tanpa bisa dibendung.
    Sudah saatnya item kokurikuler pendidikan di sekolah perlu ditambah, berupa item “Pendidikan Budaya Implementasi Media Sosial (PBIMS)”. Item ini merupakan perangkat keras bagi pengembangan wawasan implementasi media sosial di kalangan pelajar, dan bisa diterapkan di level pendidikan dasar hingga menengah dan menengah kejuruan. Penambahan item pendidikan kokurikuler ini pun diharapkan dapat mempertebal ketahanan siswa secara mental dan ideologis.
    Di samping itu, perangkat lunak yang dibutuhkan untuk mempermudah penyelesaian tugas mulia ini bisa diambil dari referensi para pakar komunikasi, khususnya pakar komunikasi media sosial (dalam kaitan ini, Indonesia memiliki pakar komunikasi media sosial dalam jumlah yang banyak), terutama para pakar komunikasi berbasis kampus, dan di kementerian komunikasi dan informasi. Mereka adalah penyedia perangkat lunak yang siap pakai dalam proses belajar di bidang PBIMS.
    Mungkin timbul pertanyaan, apakah ide pemunculan item PBIMS sama statusnya seperti PMP dan PSPB di era orde baru dulu? Jawabannya pasti, tidak sama sekali. Kemunculan PMP dan PSPB disebabkan oleh adanya kehendak politik thinktank rejim orde baru agar eksistensi rejim semakin  konsolidatif, menggiring publik pelajar Indonesia sampai pada sikap monoloyalitas tanpa reserve terhadap rejim penguasa saat itu.
    Sementara itu, ide pemunculan PBIMS sifatnya lintas rejim karena menyangkut adanya keinginan pelaksana pendidikan untuk mencegah anak didik terseret dalam ganasnya arus globalisasi. Oleh karena itu, meskipun rejim baru berganti seribu tahun lagi, tidak akan memberikan dampak positif apa pun terhadap kaum pelajar yang terseret arus globalisasi. Pemunculan PBIMS secara dini malah dapat menjadi sumbangsih sejarah yang putih bagi rejim saat ini.
    Kini kita tinggal menunggu good will dan political will dari autoritas pendidikan tertinggi di Negara ini untuk mempercepat pemunculan item PBIMS dalam rangka mencegah anak didik dari kerancuan berpikir akibat penyerapan informasi keliru dunia maya.

PUISI : NUANSA RAMADHAN 2020

NUANSA   RAMADHAN   2020 Karya : Dedik Ekadiana Langit berpayungkan lazuardi Awan bercengkrama dan menderu Alam bertakhta tuk ...